1. Pengertian Metode Sorogan
Sorogan berasal dari bahasa Jawa sorog yang berarti menyodorkan (Marwan Saridjo,1989:33). Secara istilah, Win Usuluddin (2002:41) menerangkan bahwa metode ini disebut sorogan karena santri/peserta didik menghadap kiai atau ustadz pengajarnya seorang demi seorang dan menyodorkan kitab untuk dibaca dan atau dikaji bersama dengan kiai atau ustadz tersebut. Departemen Agama (2001:74-75) mendefinisikan metode sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individual), di bawah bimbingan seorang ustadz atau kiai
Sementara itu, Mastuhu (1994:61) dan Zamakhsyari Dhofier (1994:21) menyebut sorogan sebagai cara belajar secara individual antara santri dan kiai, yang kemudian terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Secara spesifik Dhofier menambahkan bahwa metode ini diberikan dalam pengajian kepada santri-santri yang telah menguasai pembacaan Al Qur’an atau atau sebagai pembelajaran dasar kepada santri-santri baru yang masih membutuhkan bimbingan individual sebelum mengikuti pengajian kitab di pesantren (Imran Arifin,1991:38).
Pengertian lain tentang sorogan disampaikan oleh Abdullah Syukri Zarkasyi (2005:72) dan Imran Arifin (1991:38), yaitu dalam bentuk pendidikan yang bersifat individual ini para santri satu persatu datang menghadap kiai atau para ustadz (asisten kiai) dengan membawa kitab tertentu. Selanjutnya kiai atau ustadz membacakan kitab tersebut beberapa baris atau kalimat demi kalimat dengan maknanya dengan bahasa yang lazim terdapat dalam dunia pesantren. Setelah selesai, santri mengulangi bacaan tersebut sampai dirasa cukup dan bergantian dengan yang lainnya.
Ditambahkan oleh Arifin (1991:38), dalam proses tersebut biasanya santri memberi catatan untuk memberi pengesahan bahwa tanda/catatan tersebut adalah bukti bahwa kitab itu telah dibaca oleh kiai atau ustadznya. Dalam proses pengulangan, santri harus benar-benar menyiapkan diri sebelumnya mengenai hal apa dan bagaimana isi kitab yang bersangkutan yang akan dan sudah diajarkan untuk dapa naik ke jenjang selanjutnya. Dhofier (1994:28) menambahkan, dengan adanya sistem pemaknaan yang sedemikian rupa, santri harus tahu arti maupun fungsi dan kedudukan (i’rob) kata dalam suatu kalimat bahasa Arab, santri diharuskan menguasai pembacaan dan terjamahan tersebut secara tepat dan hanya bias menerima pelajaran selanjutnya bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Untuk itu, guru pada tingkatan ini selalu menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai murid lebih dari 3 atau 4 orang.
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran tradisional, metode sorogan dianggap sebagai metode yang rumit dan sulit (Imran Arifin,1991:38, dan Zamakhsyari Dhofier,1994:28). Kerumitan metode ini dikarenakan sangat memerlukan kesabaran, kerajinan dan kedisiplinan santri secara pribadi. Ini berarti keberhasilan dalam metode ini dominan sangat ditentukan oleh ketaatan santri itu sendiri terhadap kiai dan ustadznya, meskipun pada hakikatnya penjelasan dari kiai atau ustadz juga ikut menentukan. Menurut Dhofier, banyak peserta didik dengan metode ini di pedesaan yang gagal karena tidak adanya kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid.
Sebagai model pendidikan dasar, Zamakhsyari Dhofier (1994:29) juga menambahkan bahwa santri sebagai peserta didik harus mematangkan diri pada tingkat sorogan sebelum dapat mengikuti pendidikan tingkat selanjutnya di pesantren. Hal ini menurut Dhofier, karena hanya santri-santri yang telah menguasai metode sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari pelaksanaan metode bandongan dan wetonan. Sebagaiman diketahui, bahwa mayoritas pembelajaran di pesantren adalah menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab sebagai referensinya. Dan melalui metode sorogan seorang santri dapat belajar memahami bahasa Arab lebih mendalam[1].
Walaupun metode tersebut dianggap rumit, Qodry A. Azizy (2000:106) menilai bahwa metode sorogan adalah lebih efektif dari pada metode-metode yang lain dalam dunia pesantren. Dengan cara santri menghadap kiai atau ustadz secara individual untuk menerima pelajaran secara langsung, kemampuan santri dapat terkontrol oleh ustadz dan kiainya. Dhofier (1994:29) menambahkan, dengan metode ini memungkinkan bagi seorang guru (ustadz atau kiai) untuk mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid/santri dalam menguasai pelajaran, atau sebagai pendidikan dasar di pesantren, untuk menguasai bahasa Arab yang menjadi bahasa kitab.
Selain hal tersebut di atas, Tim Ditpekapontren Departemen Agama RI (2003:77) juga mencatat beberapa kelebihan metode sorogan sehingga bias disebut sebagai metode yang intensif. Kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya;
a) Ada interaksi individual antara kiai dan santri
b) Santri sebagai peserta didik lebih dapat dibimbing dan diarahkan dalam pembelajarannya, baik dari segi bahasa maupun pemahaman isi kitab.
c) Dapat dikontrol, dievaluasi dan diketahui perkembangan dan kemampuan diri santri.
d) Ada komunikasi efektif antara santri dan pengajarnya.
e) Ada kesan yang mendalam dalam diri santri dan pengajarnya.
Sementara Qodry Azizy (2000:106) juga menilai kelemahan metode ini (dan beberapa metode lainnya yang sering digunakan oleh pesantren) adalah tidak tumbuhnya budaya tanya jawab (dialog) dan perdebatan, sehingga timbul budaya anti kritik terhadap kesalahan yang diperbuat sang pengajar pada saat memberikan keterangan. Dan mungkin inilah yang menyebabkan sebagian ahli dan tenaga pendidikan kontemporer tidak memanfaatkan metode ini sebagai metode pembelajaran resmi.
2. Teknik Pembelajaran Metode Sorogan
Pembelajaran (pengajian) dengan metode sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu yang di situ tersedia empat duduk untuk ustadz/kiai sebagai pengajar, dan di depannya tersedia juga bangku atau meja kecil untuk meletakan kitab bagi santri yang menghadap. Sementara itu, santri yang lainnya duduk agak menjauh sambil mendengarkan apa yang disampaikan atau melihat peristiwa apa saja yang terjadi pada saat temannya maju menghadap dan menyorogkan kitabnya kepada ustadz/kiai sebagai bahan perbandingan baginya pada saat gilirannya tiba.
Secara teknis, Ditpekapontren Departemen Agama RI (2003:74-86) menguraikan teknik pembelajaran dengan metode sorogan sebagai berikut:
1. Seorang santri yang mendapat giliran menyorogkan kitabnya menghadap langsung secara tatap muka kepada ustadz atau kiai pengampu kitab tersebut. Kitab yang menjadi media sorogan diletakan di atas meja atau bangku kecil yang ada di antara mereka berdua.
2. Ustadz atau kiai tersebut membacakan teks dalam kitab dengan huruf Arab yang dipelajari baik sambil melihat (bin nadhor) maupun secara hafalan (bilghoib), kemudian memberikan arti/makna kata per kata dengan bahasa yang mudah dipahami.
3. Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan ustadz atau kiainya dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya. Selain mendengarkan dan menyimak, santri terkadang juga melakukan catatan-catatan seperlunya untuk :
a. Bunyi ucapan teks yang berbahasa dan huruf Arab, dengan memberi harakat atau syakal terhadap kata-kata yang ada dalam kitabnya. Pensyakalan ini sering disebut juga pendlabitan atau ngabsahi atau ngesahi. Harakat yang ditulis selain sesuai dengan bacaan kosa kata (mufrodāt) juga disesuaikan dengan fungsi dan kedudukan kata atau kalimat (i’rab).
b. Santri juga menuliskan arti setiap kosa kata (mufradāt) dengan bahasa ibu santri, langsung di bawah kata tersebut dengan menggunakan huruf Arab pegon, dilengkapi dengan simbol-simbol fungsi dan kedudukan kata atau kalimat tersebut. Misalnya kata yang berkedudukan sebagai mubtada’ (subyek) diberi simbol huruf mim yang juga mempunyai arti/bacaan khusus “utawi/adapun” sebagai tanda bacaan subyek, kata yang berkedudukan khabar (predikat) diberi simbol huruf kha’ di depannya dan diberi istilah “iku/itu’ sebagai tanda predikat, dan lain sebagainya.
4. Setelah selesai pembacaannya oleh ustadz atau kiai, santri kemudian menirukan kembali apa yang telah disampaikan di depan, bisa juga pengulangan ini dilaksanakan pada pertemuan selanjutnya sebelum memulai pelajaran baru. Dalam peristiwa ini, ustadz atau guru melakukan monitoring dan koreksi seperlunya kesalahan atau kekurangan atas bacaan (sorogan) santri.
[1] Kitab-kitab yang menjadi bahan pembelajaran dan referensi dalam dunia pesantren yang disebut “kitab kuning” mayoritas menggunakan bahasa Arab dan berupa huruf-huruf Arab tanpa syakal atau harakat, atau yang lebih dikenal dengan istilah “kitab gundul”. Oleh karena itu, untuk dapat membaca dan, memaknai (ngesahi) dan memahaminya, seorang santri sangat memerlukan bimbingan kiai atau ustadznya yang juga selalu mengamatinya dengan seksama. Kalau diperhatikan lebih lanjut, pemaknaan kitab gundul (gandul) hanyalah sekedar metode pengajaran bahasa Arab bagi orang Jawa/Madura yang diciptakkan oleh para kiai terdahulu. Tentu saja pemaknaan dengan bahasa Jawa/Madura/Sunda seperti yang terjadi di banyak pesantren salaf di Indonesia tidak didapatkan di negara-negara lain yang seharusnya menjadi perhatian kita adalah tidak sedikitnya para santri yang beranggapan seolah-olah makna gandul itu merupakan (bagian) ajaran agama itu sendiri yang tidak boleh dievaluasi, dikritik, lebih-lebih diubah. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kiai, Jakarta , LP3ES, 1994, hal 28-30. lihat juga, Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta , PT RajaGrafindo Persada, 2005, hal 74., atau Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, Jogjakarta, LKiS, 2000, 107-108.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar