Kaligrafi[1] adalah seni menulis atau bisa dikatakan kepandaian menulis indah. Ia merupakan wujud keindahan dengan nilai-nilai spiritual yang memberi efek kesenangan dan hiasan. Sedangkan keindahan sendiri menghadirkan kehalusan budi dan karya manusia. Kaligrafi yang dalam bahasa Arab disebut dengan al khath juga merupakan identitas, sarana ibadah dan bahan renungan pesan-pesan Ilahi.
Kaligrafi sebagai identitas karena dewasa ini kaligrafi identik dengan hasil kesenian (grafis) yang bernilai islami (art of Islamic art), karena materi utama dari karya grafis ini adalah ayat-ayat qauliyyah Ilahiyyah dan ahadits nabawiyyah disamping juga untaian hikmah berbahasa Arab. Sementara kaligrafi sebagai sarana ibadah adalah adanya motifasi tersembunyi dari kaligrafi itu sendiri yang mendorong kaligrafer ataupun para penikmatnya untuk lebih “membaca” pesan-pesan Ilahi yang termaktub dalam tulisan tersebut.
Didin Sirojuddin, seorang kaligrafer kawakan Indonesia mengungkapkan bahwa wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW yang sangat revolusioner itu mempunyai peran yang besar dalam perkembangan kaligrafi[2]. Ayat-ayat Iqra’[3] itulah yang menjadi “ruh” kebangkitan aksara Arab sehingga turut menghiasi masa kejayaan Islam masa lampau sampai saat ini. Dengan adanya ruh tersebut, kaligrafi Islam tidak hanya bernilai artistik, tapi juga transendental secara makna. Keindahannya berbaur dengan nilai-nilai spiritual.
Sebagai art of Islamic art, kaligrafi merupakan satu-satunya hasil kesenian yang terus tumbuh sehingga mencapai puncak perwujudannya melebihi berbagai seni Islam lainnya. Bahkan, jika dibandingkan dengan jenis-jenis tulisan seni lainnya, kaligrafi Arab tetap menduduki level tertinggi yang tidak pernah digapai oleh seni tulis mana pun di dunia ini.
Dalam dunia peradaban Islam, kaligrafi (pernah) memiliki ketergantungan timbal balik (simbiosis mutualisme) yang erat dan tak mungkin terpisahkan. Setidaknya Ibnu Khaldun pernah mencatat dalam Muqaddimahnya bahwa kaligrafi juga bergantung kepada eksistensi peradaban yang menaunginya. Sebagai bukti, ketika kerajaan Islam mulai lemah dan mundur, maka kemahiran menulis kaligrafi juga mulai surut[4].
Pada masa selanjutnya (sampai saat ini), kaligrafi terus mengalami perkembangan yang pesat baik dari corak ragamnya, tekhnik penulisannya, sampai pada inovasi gaya dan visualisasinya mulai dari gaya klasik sampai kontemporer yang dipengaruhi oleh bentuk seni lain. Realitas ini membuat kaligrafi Arab memilik pesona tersendiri sehingga menarik perhatian khayalak luas untuk menggali dan mengkajinya baik itu oleh praktisi kaligrafi itu sendiri maupun mereka yang berada out side dari kaligrafi itu.
Namun, mayoritas para pengkaji kaligrafi tersebut lebih berkonsentrasi pada kaligrafi sebagai ekspresi kesenian tulis-menulis secara praktis sebagai sebuah ketrampilan. Yang menjadi sasaran adalah memperkenalkan kaedah-kaedah penulisan (qawa’id al kitabah) dan teori pelatihannya. Sebagian besar dari buku-buku kajian tersebut mengambil refensi utama dari kitab-kitab utama yang memuat kaidah-kaidah tulisan Arab semisal karya Hasyim Muhammad al Khaththath, Qawa’id al Khath al ‘Araby (Baghdad, 1961).[5] Ataupun kalau tidak, mereka banyak menulis kaligrafi dari aspek historis dengan menampilkan para tokoh-tokoh yang berpengaruh pada zamannya[6]. Dan sangat jarang (terutama di Indonesia) hasil kajian yang membahas kaligrafi dari aspek filosofis dan wacana kebudayaan Islam yang aktual dan empiris.
Berangkat dari deskripsi di atas, penulis berusaha memfokuskan paper ini pada kajian kaligrafi sebagai manifestasi[7] seni Islam dengan menelusuri peran kaligrafi dalam sejarah peradaban Islam. Dalam penulisan paper ini, untuk efisiensi pembahasan, sengaja penulis tidak akan banyak menyinggung kaligrafi dari aspek historis kemunculannya (asal muasalnya) ataupun aspek skill praktis dan perkembangan perubahan gaya, corak serta jenisnya, tapi lebih pada motivasi perkembangan kaligrafi dalam peradaban Islam terutama pascapewahyuan (diturunkannya al Qur’an).
[1] Penyebutan istilah kaligrafi di paper ini dimaksudkan untuk kaligrafi Arab/Islam (al khath al Araby), kecuali ada penambahan kata-kata tertentu yang ditujukan untuk maksud tertentu pula, exp. Kaligrafi China, kaligrafi Jepang, dll.
[3] Lihat QS. al Alaq ; 1- 5 dan al Qalam ;1
[4] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Mesir, Musthafa Muhammad, tth, Vol. I, hlm 420.
[5] Selain Hasyim Muhammad al khaththath, para penulis buku senada adalah Hassan Massoud, Al Khath al ‘Araby (Caligraphie arabe Vivante) (Paris,1981), dan di Indonesia banyak bermunculan buku-buku praktis semacam ini yang diantaranya ditulis oleh Sirojuddin, Pelajaran Kaligrafi Islam, (Jakarta, 1985), Serial Belajar Kaligrafi, (1991-1997, delapan jilid), Abdul Karim Husein, Tuntunan Menulis Huruf Halus Arab, (Jakarta, 1970), Misbahul Munir, Pelajaran Menulis Indah Huruf Arab, (Surabaya, dua jilid), Dede Nuruzzaman, Kalgrafi dan Tahsinul Khat, (1987, dua jilid), Muthalib Alfasiry, Qiwaamul Khath,,(Jepara, dua jilid), Mausu’ah al Khathathin, (Jepara), Ulul Aufa, Belajar Kaligrafi, (Kudus), dan lain sebagainya.
[6] Disamping Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya, penulis lain diantaranya adalah Yasin Hamid safadi, Islamic Calligraphy, (London, 1978), Ismail Roji’ al Faruqi dan Lois Lamya al Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York, 1986), Kamil Al Baba, Ruh al Khat al ‘araby, (Beirut, 1983), dan D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta, 1985).
[7] Manifestasi berati pembuktian, pernyataan perwujudan dan pengejawentahan. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Arkola, 1994, hlm. 435.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar