Mengenai Saya

Foto saya
secang magelang, jawa tengah, Indonesia

Selasa, 14 Desember 2010

KETIKA RINDU SAHABAT MENERPA

DRAGONERS-695 'C 1995
PAMER KEIKHLASAN
Untuk: Sitah Akhmad Zaenuri

Prestasi pesantren yang sampai saat ini belum terkalahkan adalah juara keikhlasan. Namanya juga keikhlasan, saya tidak bisa menceritakannya secara detil untuk Anda. Menjadi klise dan susah dipercaya kalau keikhlasan itu hanya saya gambarkan dengan gaji gurunya yang hanya lima puluh ribu tapi beretos kerja seperti menerima lima puluh juta. Menjadi hambar pula kalau saya tuturkan bahwa keikhlasan hanya dilihat dari jam kerja mereka yang dua puluh empat jam, bahkan dua puluh empat jam itu masih dirasa kurang untuk menuntaskan detil perjuangan. Menjadi absurd kalau saya gambarkan wajah keikhlasan pesantren sebagai wajah yang hanya menengadah kepada Tuhan dan mengesampingkan motif-motif materi. Benar-benar kabur nilai keikhlasan itu kalau saya narasikan karena hanya Tuhan yang mendeteksi keikhlasan sesungguhnya. Setiap kata dari manusia tidak sahih dan absah untuk mendeskripsikan keikhlasan pesantren. Anda sendiri yang harus datang ke sana dan mencicipi nafas kehidupannya: mereka menghirup udara keikhlasan dan dikeluarkan dalam bentuk keikhlasan pula.

Melihat gelagat kapitalisme dan kecenderungan materialisme sekarang ini, nampaknya prestasi itu akan menjadi rekor permanen yang dikukuhkan untuk pesantren. Hari ini dan seterusnya akan dipenuhi kompetisi untuk menghapus Tuhan dari setiap pertimbangan pengambilan keputusan. Bila ini benar terjadi, maka keikhlasan akan dimonopoli pesantren karena hanya di pesantren Tuhan masih dipertimbangkan. Rekor keikhlasan pesantren itu juga berpotensi menurunkan rekor baru: juara menanamkan keikhlasan pada darah setiap santrinya, bahkan ke dalam darah orang tua santri, para tamu dan simpatisan. Apalagi rakyat jelata, para pesohor negeri yang bersilaturahmi, hanya mampu menyumbangkan ratusan juta kebaikan kepada pesantren tanpa sedikit pun bisa mempengaruhinya untuk menjadi merah, hijau, kuning atau biru. Siapapun tak akan berdaya menerbitkan kepentingan selain lillah di dalam pesantren. Pengalaman puluhan tahun menegaskan: siapapun yang bermain-main dengan keikhlasan pesantren akan terpental. Keikhlasan itu telah mengkristal menjadi sistem persis samudra: semua kotoran akan terpinggirkan tercampak di bibir pantai.

Pesantren bergerak cepat dan dinamikanya menjadi pusaran keikhlasan yang dasyat. Siapa pun yang berkunjung akan masuk tersedot ke dalam pusaran itu. Besar kecil keikhlasan yang mampu diterima tergantung besar kecilnya seseorang menghirup oksigen keikhlasan dari sana. Ribuan jilid buku tidak akan cukup menuturkan kisah-kisah keikhlasan dari rahim pesantren. Di antara yang banyak itu, saya ingin menyampaikan salah satunya untuk Anda.

Namanya Sitah Ahmad Zaenuri. Asli magelang, berkulit putih, berwajah bulat, bertinggi sedang, berambut lurus, gigih, berkemauan keras, terampil, kreatif dan menghirup keikhlasan dalam porsi luar biasa dari pesantren. Tiga ciri terakhir akan saya garisbawahi karena untuk ketiganya saya menjadi saksi kunci. Sitah, begitu saya memanggilnya, lahir tidak dengan bakat keterampilan yang memadai, melainkan biasa saja seperti bayi lainnya. Tetapi kreatifitas yang dititipkan Tuhan dalam dirinya melebihi ambang batas rata-rata. Cadangan kreatifitas yang berlebihan itulah yang mengantarkan Sitah menjadi pengurus Bagian Keterampilan (Baketram) OPPM. Menjadi anggota Baketram saja sudah prestisius, apalagi berperan pengurus, tentu Sitah telah menjadi simbol santri terampil di pesantren kami. Sitah kreatif memanfaatkan setiap peluang untuk meningkatkan keterampilan. Sitah selalu membawa gunting, cutter, pena khat dan kuas. Setiap jam kosong adalah peluang menggambar, melukis kaligrafi, melipat kertas, menggunting pita. Guru yang tidak menarik dan sesi pelajaran yang telah dikuasai adalah kesempatan untuk menghias meja. Apalagi Sitah adalah sosok santri cerdas yang cepat menguasai pelajaran. Sebentar mendengarkan, langsung paham sehingga lebih banyak kesempatan menghias meja. Meja yang pernah di pakai Sitah adalah meja yang penuh ukiran, lukisan kaligrafi, hingga puisi. Suatu hari Bagian Keamanan melihat meja dengan ciri itu di aula. Serta merta sang keamanan memerintahkan penangkapan atas Sitah tanpa investigasi, semata karena ia tahu hanya Sitah yang bisa melakukannya.

From zero to hero. Dari tidak terampil, Sitah bekerja keras hingga menjadi simbol santri terampil. Kami bersebelahan ruang; saya di Bagian Olahraga di ujung gedung, dia di samping saya. Kedua ruang dihubungkan dengan sebuah pintu. Kami leluasa untuk saling mengunjungi. Selama enam tahun di pesantren, beberapa tahun kami sekelas. Puluhan kali saya menyaksikan dan menikmati keterampilannya. Ruang Bagian Olahraga, buku-buku, lemari saya adalah kanvas terbuka bagi Sitah. Sepengetahuan atau tanpa pengetahuan saya, tangan terampil Sitah mengaduk-aduk benda-benda saya untuk sekejap saja berubah menjadi benda-benda indah. Dengan suka cita saya menyambutnya.

Nyatalah bagi Anda, keterampilan dan kreatifitas Sitah. Sekarang tentang keikhlasannya. Bertahun-tahun bersama di pesantren saya cuma mengagumi keterampilan dan kreatifitasnya. Tetapi bertahun-tahun berikutnya, satu lagi kelengkapan Sitah terpampang untuk saya: keikhlasan. Itu pasti keikhlasan yang disetrumkan pesantren kepadanya. Dan hazanah kebajikan bernama keikhlasan yang dimiliki Sitah terpajang untuk saya melalui runititas sangat sederhana, yaitu mengirim kartu lebaran. Kartu lebaran karya tangan terampil dan kreatifnya tak jemu menyapa saya setiap lebaran sejak kami masih bersama hingga bertahun-tahun setelah lulus. Kartu lebaran itu berhenti mengunjungi rumah saya di Wonogiri Utara hanya ketika era digital membuatnya begitu jadul.

Dan inilah ironinya: saya menyadari keikhlasan Sitah yang mengagumkan justru ketika kartu lebaran itu tak lagi ngetren dan Sitah tak lagi mengirimkannya untuk saya. Tersimpan rapi enam belas kartu lebaran Sitah di laci rumah saya, tetapi tak pernah satupun saya balas. Kesadaran saya lahir bertepatan dengan SMS Lebaran dari Sitah sebagai pengganti kartu lebaran. SMS itu menampar saya untuk dua hal: kekejian tidak pernah membalas enam belas kartu lebaran dan keikhlasan Sitah menjalin silaturahmi.

Setelah lama tak bertemu, via facebook saya menyaksikan keterampilan dan kreatifitas yang dibalut keikhlasan mengagumkan itu, kini menopang kesejahteraan hidup Sitah. Pelajaran berharga dari Mister Six! Terimakasih Mister, semoga hidupmu bergelimang kegembiraan. Tetapi sesungguhnya, di samping kekaguman melimpah, saya menyimpan kegeraman yang menyenangkan dari Sitah. Suatu kali, di buku milik saya, Sitah menuliskan kalimat sederhana dalam makna: ’Buku ini hadiah dari Sitah Ahmad Zaenuri atas jasa saya mencucikan celana dalamnya!’

Ya. Geram tetapi menyenangkan karena bagi saya kalimat itu tak lain dari ekspresi keterampilan, kreatifitas dan keikhlasan menjadikan saya sahabat. Sungguh bagi nalar dan naluri sehat, tidak ada alasan untuk marah atas hasil karya keterampilan, kreatifitas dan ketulu
san! {oleh Syahid Widi Nugroho pada 27 Februari 2010 jam 15:26} 

Tidak ada komentar: