Mengenai Saya

Foto saya
secang magelang, jawa tengah, Indonesia

Selasa, 28 Desember 2010

my profile

Sitah Akhmad Zaenuri
Kacamata merupakan salah satu ciri khas dari penampilannya, disamping tasnya yang berisi aneka ATK sehingga bisa diberi laqob sebagai kantor berjalan. Pendidikan S1 ditempuh pada fakultas Syari’ah di IAIN Walisongo Semarang, yang mungkin agak melenceng dari profesinya sekarang. Untuk itulah Ia meneruskan studynya di Program Pascasarja di kampus yang sama dan mengambil konsentrasi Pendidikan Islam, sehingga mendapat gelar MSI (Magister Studi Islam, bukan bukanMasih Single n Ijen lho …) walaupun sempat hampir di DO karena molor dalam penggarapan tesisnya sehingga melampaui batas kewajaran jenjang semester yang diberikan. Tema Tesisnya pun tidak jauh dari kegiatannya hari-hari ini, yaitu tentang "metode sorogan dalam pembelajaran formal", yang menjadi issue sentral dalam proses kegiatan pembelajaran dan pendidikan di pondok dan madrasah ini (tapi bukan berarti Tesis tersebut menjadi tiket dalam mengemban amanat sebagai Kamad). Yang mana metode ini diyakininya bisa menghantarkan peserta didik untuk meraih prestasi dan kesholehan pribadi dan jama’i (sosial) jika betul-betul dilaksanakan dengan maksimal, karena itu merupakan pengejawentahan dari learning society dan teori tholabul ‘ilmi yang menjadi kewajiban setiap individu.
Perjalan khidmahnya pun cukup unik, karena mengalami dua fase pengabdian di lembaga pendidikan ini. Fase pertama adalah pada tahun pelajaran 1996-1997, selepas pengabdiannya di Ponpes Roudloh Hasanah Medan Sumut yang menjadi kewajibannya setelah menyelesaikan pendidikan di ITTC/KMI Darussalam Gontor Ponorogo pada tahun 1995. Pada fase pertama tersebut digunakan juga untuk ngangsu kawruh untuk menelaahkutub turots kepada sesama ustadz yang mengabdi pada saat itu. Kemudian pada Tahun 2003, setelah memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam, Ia kembali lagi diberi kertas undangan rapat koordinasi pengembangan kurikulum oleh KH. Minanurrohman Anshori untuk memulai lagi sebuah pengabdian dan pengamalan ilmu yang telah diperolehnya, dengan tetap fokus pada pembelajaran Bahasa Arab. Setelah itu, tugas tambahan ilegalpun mulai bertengger di pundaknya, mulai pembina OSIS/BESS, Waka bidang kesiswaan, kemudian bidang kurikulum, ketua Panitia Penerimaan Siswa'Santri Baru selama 2 periode berturut-turut, dll. Namun semua itu tetap diterimanya dengan harapan untuk sebuah pengabdian pada ilmu, Kiai dan Orang Tua (birrul walidain). Kesyukuran akan ni’mat Allah akan ilmu dan ma’rifatyang bermanfaat (‘ilmun yuntafa’u bihi) adalah harapan besar darinya agar bisa menjadi tiket dan temannya kelak ketika menghadap sang Kholik, karena 2 tiket lainnya (walad sholih yad’u lahu dan shodaqoh jariyah) masih belum bisa diaplikasikan dengan sempurna.
Amanah berat sebagai Kepala Madrasah Aliyah Yajri yang diembannya mulai awal Februari 2008 bukanlah sebuah jabatan ataupun puncak karier yang diimpikan, tapi mungkin itu adalah sebuah “kecelakaan sejarah” yang harus dilakoninya sebagai bagian dari sejarah hidupnya sesuai mottonya, “innamal mar’u haditsun ba’dahu, fakun haditsan hasanan liman wa’a, wa laisal mar’u yuuladu ‘aliman, fa man dalla ‘ala khoirin fa lahu mitslu ajri faa’ilihi

Sabtu, 18 Desember 2010

Metode Sorogan

1.      Pengertian Metode Sorogan
Sorogan berasal dari bahasa Jawa sorog yang berarti menyodorkan (Marwan Saridjo,1989:33). Secara istilah, Win Usuluddin (2002:41) menerangkan bahwa metode ini disebut sorogan karena santri/peserta didik menghadap kiai atau ustadz pengajarnya seorang demi seorang dan menyodorkan kitab untuk dibaca dan atau dikaji bersama dengan kiai atau ustadz tersebut. Departemen Agama (2001:74-75) mendefinisikan metode sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individual), di bawah bimbingan seorang ustadz atau kiai
Sementara itu, Mastuhu (1994:61) dan Zamakhsyari Dhofier (1994:21) menyebut sorogan sebagai cara belajar secara individual antara santri dan kiai, yang kemudian terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Secara spesifik Dhofier menambahkan bahwa metode ini diberikan dalam pengajian kepada santri-santri yang telah menguasai pembacaan Al Qur’an atau atau sebagai pembelajaran dasar kepada santri-santri baru yang masih membutuhkan bimbingan individual sebelum mengikuti pengajian kitab di pesantren  (Imran Arifin,1991:38).
Pengertian lain tentang sorogan disampaikan oleh Abdullah Syukri Zarkasyi (2005:72) dan Imran Arifin (1991:38), yaitu dalam bentuk pendidikan yang bersifat individual ini para santri satu persatu datang menghadap kiai atau para ustadz (asisten kiai) dengan membawa kitab tertentu. Selanjutnya kiai atau ustadz membacakan kitab tersebut beberapa baris atau kalimat demi kalimat dengan maknanya dengan bahasa yang  lazim terdapat dalam dunia pesantren. Setelah selesai, santri mengulangi bacaan tersebut sampai dirasa cukup dan bergantian dengan yang lainnya.
Ditambahkan oleh Arifin (1991:38), dalam proses tersebut biasanya santri memberi catatan untuk memberi pengesahan bahwa tanda/catatan tersebut adalah bukti bahwa kitab itu telah dibaca oleh kiai atau ustadznya. Dalam proses pengulangan, santri harus benar-benar menyiapkan diri sebelumnya mengenai hal apa dan bagaimana isi kitab yang bersangkutan yang akan dan sudah diajarkan untuk dapa naik ke jenjang selanjutnya. Dhofier (1994:28) menambahkan, dengan adanya sistem pemaknaan yang sedemikian rupa, santri harus tahu arti maupun fungsi dan kedudukan (i’rob) kata dalam suatu kalimat bahasa Arab, santri diharuskan menguasai pembacaan dan terjamahan tersebut secara tepat dan hanya bias menerima pelajaran selanjutnya bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Untuk itu, guru pada tingkatan ini selalu menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai murid lebih dari 3 atau 4 orang. 
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran tradisional, metode sorogan dianggap sebagai metode yang rumit dan sulit (Imran Arifin,1991:38, dan Zamakhsyari Dhofier,1994:28). Kerumitan metode ini dikarenakan sangat memerlukan kesabaran, kerajinan dan kedisiplinan santri secara pribadi. Ini berarti keberhasilan dalam metode ini dominan sangat ditentukan oleh ketaatan santri itu sendiri terhadap kiai dan ustadznya, meskipun pada hakikatnya penjelasan dari kiai atau ustadz juga ikut menentukan. Menurut Dhofier, banyak peserta didik dengan metode ini di pedesaan yang gagal karena tidak adanya kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid.
Sebagai model pendidikan dasar, Zamakhsyari Dhofier (1994:29) juga menambahkan bahwa santri sebagai peserta didik harus mematangkan diri pada tingkat sorogan sebelum dapat mengikuti pendidikan tingkat selanjutnya di pesantren. Hal ini menurut Dhofier, karena hanya santri-santri yang telah menguasai metode sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari pelaksanaan metode bandongan dan wetonan. Sebagaiman diketahui, bahwa mayoritas pembelajaran di pesantren adalah menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab sebagai referensinya. Dan melalui metode sorogan seorang santri dapat belajar memahami bahasa Arab lebih mendalam[1].
Walaupun metode tersebut dianggap rumit, Qodry A. Azizy (2000:106) menilai bahwa metode sorogan adalah lebih efektif dari pada metode-metode yang lain dalam dunia pesantren. Dengan cara santri menghadap kiai atau ustadz secara individual untuk menerima pelajaran secara langsung, kemampuan santri dapat terkontrol oleh ustadz dan kiainya. Dhofier (1994:29) menambahkan, dengan metode ini memungkinkan bagi seorang guru (ustadz atau kiai) untuk mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid/santri dalam menguasai pelajaran, atau sebagai pendidikan dasar di pesantren, untuk menguasai bahasa Arab yang menjadi bahasa kitab.
Selain hal tersebut di atas, Tim Ditpekapontren Departemen Agama RI (2003:77) juga mencatat beberapa kelebihan metode sorogan sehingga bias disebut sebagai metode yang intensif. Kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya;
a)      Ada interaksi individual antara kiai dan santri
b)      Santri sebagai peserta didik lebih dapat dibimbing dan diarahkan dalam pembelajarannya, baik dari segi bahasa maupun pemahaman isi kitab.
c)      Dapat dikontrol, dievaluasi dan diketahui perkembangan dan kemampuan diri santri.
d)     Ada komunikasi efektif antara santri dan pengajarnya.
e)      Ada kesan yang mendalam dalam diri santri dan pengajarnya.
Sementara Qodry Azizy (2000:106) juga menilai kelemahan metode ini (dan beberapa metode lainnya yang sering digunakan oleh pesantren) adalah tidak tumbuhnya budaya tanya jawab (dialog) dan perdebatan, sehingga timbul budaya anti kritik terhadap kesalahan yang diperbuat sang pengajar pada saat memberikan keterangan. Dan mungkin inilah yang menyebabkan sebagian ahli dan tenaga pendidikan kontemporer tidak memanfaatkan metode ini sebagai metode pembelajaran resmi.
2.      Teknik Pembelajaran Metode Sorogan
Pembelajaran (pengajian) dengan metode sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu yang di situ tersedia empat duduk untuk ustadz/kiai sebagai pengajar, dan di depannya tersedia juga bangku atau meja kecil untuk meletakan kitab bagi santri yang menghadap. Sementara itu, santri yang lainnya duduk agak menjauh sambil mendengarkan apa yang disampaikan atau melihat peristiwa apa saja yang terjadi pada saat temannya maju menghadap dan menyorogkan kitabnya kepada ustadz/kiai sebagai bahan perbandingan baginya pada saat gilirannya tiba.
Secara teknis, Ditpekapontren Departemen Agama RI (2003:74-86) menguraikan teknik pembelajaran dengan metode sorogan sebagai berikut:
1.      Seorang santri yang mendapat giliran menyorogkan kitabnya menghadap langsung secara tatap muka kepada ustadz atau kiai pengampu kitab tersebut. Kitab yang menjadi media sorogan diletakan di atas meja atau bangku kecil yang ada di antara mereka berdua.
2.      Ustadz atau kiai tersebut membacakan teks dalam kitab dengan huruf Arab yang dipelajari baik sambil melihat (bin nadhor) maupun secara hafalan (bilghoib), kemudian memberikan arti/makna kata per kata dengan bahasa yang mudah dipahami.
3.      Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan ustadz atau kiainya dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya. Selain mendengarkan dan menyimak, santri terkadang juga melakukan catatan-catatan seperlunya untuk :
a.       Bunyi ucapan teks yang berbahasa dan huruf Arab, dengan memberi harakat atau syakal terhadap kata-kata yang ada dalam kitabnya. Pensyakalan ini sering disebut juga pendlabitan atau ngabsahi atau ngesahi. Harakat yang ditulis selain sesuai dengan bacaan kosa kata (mufrodāt) juga disesuaikan dengan fungsi dan kedudukan kata atau kalimat (i’rab).
b.      Santri juga menuliskan arti setiap kosa kata (mufradāt) dengan bahasa ibu santri, langsung di bawah kata tersebut dengan menggunakan huruf Arab pegon, dilengkapi dengan simbol-simbol fungsi dan kedudukan kata atau kalimat tersebut. Misalnya kata yang berkedudukan sebagai mubtada’ (subyek) diberi simbol huruf mim yang juga mempunyai arti/bacaan khusus “utawi/adapun sebagai tanda bacaan subyek, kata yang berkedudukan khabar (predikat) diberi simbol huruf kha’ di depannya dan diberi  istilah “iku/itu’ sebagai tanda predikat, dan lain sebagainya.
4.      Setelah selesai pembacaannya oleh ustadz atau kiai, santri kemudian menirukan kembali apa yang telah disampaikan di depan, bisa juga pengulangan ini dilaksanakan pada pertemuan selanjutnya sebelum memulai pelajaran baru. Dalam peristiwa ini, ustadz atau guru melakukan monitoring dan koreksi seperlunya kesalahan atau kekurangan atas bacaan (sorogan) santri.


[1]  Kitab-kitab yang menjadi bahan pembelajaran dan referensi dalam dunia pesantren yang disebut “kitab kuning” mayoritas menggunakan bahasa Arab dan berupa huruf-huruf Arab tanpa  syakal atau harakat, atau yang lebih dikenal dengan istilah  “kitab gundul”. Oleh karena itu, untuk dapat membaca dan, memaknai (ngesahi) dan memahaminya, seorang santri sangat memerlukan bimbingan kiai atau ustadznya yang juga selalu mengamatinya dengan seksama.  Kalau diperhatikan lebih lanjut,  pemaknaan kitab gundul (gandul) hanyalah sekedar metode pengajaran bahasa Arab bagi orang Jawa/Madura yang diciptakkan oleh para kiai terdahulu. Tentu saja pemaknaan dengan bahasa Jawa/Madura/Sunda seperti yang terjadi di banyak pesantren salaf di Indonesia tidak didapatkan di negara-negara lain  yang seharusnya menjadi perhatian kita adalah tidak sedikitnya para santri yang beranggapan seolah-olah makna gandul itu merupakan (bagian) ajaran agama itu sendiri yang tidak boleh dievaluasi, dikritik, lebih-lebih diubah. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kiai, Jakarta, LP3ES, 1994, hal 28-30. lihat juga, Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005, hal 74., atau Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, Jogjakarta, LKiS, 2000, 107-108.

Kaligrafi sebagai manifestasi seni Islam

Kaligrafi[1] adalah seni menulis atau bisa dikatakan kepandaian menulis indah. Ia merupakan wujud keindahan dengan nilai-nilai spiritual yang memberi efek kesenangan dan hiasan. Sedangkan keindahan sendiri menghadirkan kehalusan budi dan karya manusia. Kaligrafi yang dalam bahasa Arab disebut dengan al khath juga merupakan identitas, sarana ibadah dan bahan renungan pesan-pesan Ilahi.

Kaligrafi sebagai identitas karena dewasa ini kaligrafi identik dengan hasil kesenian (grafis) yang bernilai islami (art of Islamic art), karena materi utama dari karya grafis ini adalah ayat-ayat qauliyyah Ilahiyyah dan  ahadits nabawiyyah disamping juga untaian hikmah berbahasa Arab. Sementara kaligrafi sebagai sarana ibadah adalah adanya motifasi tersembunyi dari kaligrafi itu sendiri yang mendorong kaligrafer ataupun para penikmatnya untuk lebih “membaca” pesan-pesan Ilahi yang termaktub dalam tulisan tersebut.

Didin Sirojuddin, seorang kaligrafer kawakan Indonesia mengungkapkan bahwa wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW yang sangat revolusioner itu mempunyai peran yang besar dalam perkembangan kaligrafi[2]. Ayat-ayat Iqra’[3] itulah yang menjadi “ruh” kebangkitan aksara Arab sehingga turut menghiasi masa kejayaan Islam masa lampau sampai saat ini. Dengan adanya ruh tersebut, kaligrafi Islam tidak hanya bernilai artistik, tapi juga transendental secara makna. Keindahannya berbaur dengan nilai-nilai spiritual.

Sebagai art of Islamic art, kaligrafi merupakan satu-satunya hasil kesenian yang terus tumbuh sehingga mencapai puncak perwujudannya melebihi berbagai seni Islam lainnya. Bahkan, jika dibandingkan dengan jenis-jenis tulisan seni lainnya, kaligrafi Arab tetap menduduki level tertinggi yang tidak pernah digapai oleh seni tulis mana pun di dunia ini.

Dalam dunia peradaban Islam, kaligrafi (pernah) memiliki ketergantungan timbal balik (simbiosis mutualisme) yang erat dan tak mungkin terpisahkan. Setidaknya Ibnu Khaldun pernah mencatat dalam Muqaddimahnya bahwa kaligrafi juga bergantung kepada eksistensi peradaban yang menaunginya. Sebagai bukti, ketika kerajaan Islam mulai lemah dan mundur, maka kemahiran menulis kaligrafi juga mulai surut[4].

Pada masa selanjutnya (sampai saat ini), kaligrafi terus mengalami perkembangan yang pesat baik dari corak ragamnya, tekhnik penulisannya, sampai pada inovasi gaya dan visualisasinya mulai dari gaya klasik sampai kontemporer yang dipengaruhi oleh bentuk seni lain. Realitas ini membuat kaligrafi Arab memilik pesona tersendiri sehingga menarik perhatian khayalak luas untuk menggali dan mengkajinya baik itu oleh praktisi kaligrafi itu sendiri maupun mereka yang berada out side dari kaligrafi itu.

     Namun, mayoritas para pengkaji kaligrafi tersebut lebih berkonsentrasi pada kaligrafi sebagai ekspresi kesenian tulis-menulis secara praktis sebagai sebuah ketrampilan. Yang menjadi sasaran adalah memperkenalkan kaedah-kaedah penulisan (qawa’id al kitabah) dan teori pelatihannya. Sebagian besar dari buku-buku kajian tersebut mengambil refensi utama dari kitab-kitab utama yang memuat kaidah-kaidah tulisan Arab semisal karya Hasyim Muhammad al Khaththath, Qawa’id al Khath al ‘Araby (Baghdad, 1961).[5] Ataupun kalau tidak, mereka banyak menulis kaligrafi dari aspek historis dengan menampilkan para tokoh-tokoh yang berpengaruh pada zamannya[6].  Dan sangat jarang (terutama di Indonesia) hasil kajian yang membahas kaligrafi dari aspek filosofis dan wacana kebudayaan Islam yang aktual dan empiris.

Berangkat dari deskripsi di atas, penulis berusaha memfokuskan paper ini pada kajian kaligrafi sebagai manifestasi[7] seni Islam dengan menelusuri peran kaligrafi dalam sejarah peradaban Islam. Dalam penulisan paper ini, untuk efisiensi pembahasan, sengaja penulis tidak akan banyak menyinggung kaligrafi dari aspek historis kemunculannya (asal muasalnya) ataupun aspek skill praktis dan perkembangan perubahan gaya, corak serta jenisnya, tapi lebih pada motivasi  perkembangan kaligrafi dalam peradaban Islam terutama pascapewahyuan (diturunkannya al Qur’an).



[1]  Penyebutan istilah kaligrafi di paper ini dimaksudkan untuk kaligrafi Arab/Islam (al khath al Araby), kecuali ada penambahan kata-kata tertentu yang ditujukan untuk maksud tertentu pula, exp. Kaligrafi China, kaligrafi Jepang, dll. 
 [2] Rubrik Sukses, Majalah GONTOR, Jakarta, Edisi 05 Tahun I, Rajab 1424H/September 2003M, hlm 57.
[3] Lihat QS. al Alaq ; 1- 5 dan al Qalam ;1
[4]  Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Mesir, Musthafa Muhammad, tth, Vol. I, hlm 420.
[5]  Selain Hasyim Muhammad al khaththath, para penulis buku senada adalah Hassan Massoud, Al Khath al ‘Araby (Caligraphie arabe Vivante) (Paris,1981), dan di Indonesia banyak bermunculan buku-buku praktis semacam ini yang diantaranya ditulis oleh Sirojuddin, Pelajaran Kaligrafi Islam, (Jakarta, 1985), Serial Belajar Kaligrafi, (1991-1997, delapan jilid), Abdul Karim Husein, Tuntunan Menulis Huruf Halus Arab, (Jakarta, 1970), Misbahul Munir, Pelajaran Menulis Indah Huruf Arab, (Surabaya, dua jilid), Dede Nuruzzaman, Kalgrafi dan Tahsinul Khat, (1987, dua jilid), Muthalib Alfasiry, Qiwaamul Khath,,(Jepara, dua jilid), Mausu’ah al Khathathin, (Jepara), Ulul Aufa, Belajar Kaligrafi, (Kudus), dan lain sebagainya.
 [6] Disamping Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya, penulis lain diantaranya adalah Yasin Hamid safadi, Islamic Calligraphy, (London, 1978), Ismail Roji’ al Faruqi dan Lois Lamya al Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York, 1986), Kamil Al Baba, Ruh al Khat al ‘araby, (Beirut, 1983), dan D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta, 1985).
[7]  Manifestasi berati pembuktian, pernyataan perwujudan dan pengejawentahan. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Arkola, 1994,  hlm. 435. 

Selasa, 14 Desember 2010

KETIKA RINDU SAHABAT MENERPA

DRAGONERS-695 'C 1995
PAMER KEIKHLASAN
Untuk: Sitah Akhmad Zaenuri

Prestasi pesantren yang sampai saat ini belum terkalahkan adalah juara keikhlasan. Namanya juga keikhlasan, saya tidak bisa menceritakannya secara detil untuk Anda. Menjadi klise dan susah dipercaya kalau keikhlasan itu hanya saya gambarkan dengan gaji gurunya yang hanya lima puluh ribu tapi beretos kerja seperti menerima lima puluh juta. Menjadi hambar pula kalau saya tuturkan bahwa keikhlasan hanya dilihat dari jam kerja mereka yang dua puluh empat jam, bahkan dua puluh empat jam itu masih dirasa kurang untuk menuntaskan detil perjuangan. Menjadi absurd kalau saya gambarkan wajah keikhlasan pesantren sebagai wajah yang hanya menengadah kepada Tuhan dan mengesampingkan motif-motif materi. Benar-benar kabur nilai keikhlasan itu kalau saya narasikan karena hanya Tuhan yang mendeteksi keikhlasan sesungguhnya. Setiap kata dari manusia tidak sahih dan absah untuk mendeskripsikan keikhlasan pesantren. Anda sendiri yang harus datang ke sana dan mencicipi nafas kehidupannya: mereka menghirup udara keikhlasan dan dikeluarkan dalam bentuk keikhlasan pula.

Melihat gelagat kapitalisme dan kecenderungan materialisme sekarang ini, nampaknya prestasi itu akan menjadi rekor permanen yang dikukuhkan untuk pesantren. Hari ini dan seterusnya akan dipenuhi kompetisi untuk menghapus Tuhan dari setiap pertimbangan pengambilan keputusan. Bila ini benar terjadi, maka keikhlasan akan dimonopoli pesantren karena hanya di pesantren Tuhan masih dipertimbangkan. Rekor keikhlasan pesantren itu juga berpotensi menurunkan rekor baru: juara menanamkan keikhlasan pada darah setiap santrinya, bahkan ke dalam darah orang tua santri, para tamu dan simpatisan. Apalagi rakyat jelata, para pesohor negeri yang bersilaturahmi, hanya mampu menyumbangkan ratusan juta kebaikan kepada pesantren tanpa sedikit pun bisa mempengaruhinya untuk menjadi merah, hijau, kuning atau biru. Siapapun tak akan berdaya menerbitkan kepentingan selain lillah di dalam pesantren. Pengalaman puluhan tahun menegaskan: siapapun yang bermain-main dengan keikhlasan pesantren akan terpental. Keikhlasan itu telah mengkristal menjadi sistem persis samudra: semua kotoran akan terpinggirkan tercampak di bibir pantai.

Pesantren bergerak cepat dan dinamikanya menjadi pusaran keikhlasan yang dasyat. Siapa pun yang berkunjung akan masuk tersedot ke dalam pusaran itu. Besar kecil keikhlasan yang mampu diterima tergantung besar kecilnya seseorang menghirup oksigen keikhlasan dari sana. Ribuan jilid buku tidak akan cukup menuturkan kisah-kisah keikhlasan dari rahim pesantren. Di antara yang banyak itu, saya ingin menyampaikan salah satunya untuk Anda.

Namanya Sitah Ahmad Zaenuri. Asli magelang, berkulit putih, berwajah bulat, bertinggi sedang, berambut lurus, gigih, berkemauan keras, terampil, kreatif dan menghirup keikhlasan dalam porsi luar biasa dari pesantren. Tiga ciri terakhir akan saya garisbawahi karena untuk ketiganya saya menjadi saksi kunci. Sitah, begitu saya memanggilnya, lahir tidak dengan bakat keterampilan yang memadai, melainkan biasa saja seperti bayi lainnya. Tetapi kreatifitas yang dititipkan Tuhan dalam dirinya melebihi ambang batas rata-rata. Cadangan kreatifitas yang berlebihan itulah yang mengantarkan Sitah menjadi pengurus Bagian Keterampilan (Baketram) OPPM. Menjadi anggota Baketram saja sudah prestisius, apalagi berperan pengurus, tentu Sitah telah menjadi simbol santri terampil di pesantren kami. Sitah kreatif memanfaatkan setiap peluang untuk meningkatkan keterampilan. Sitah selalu membawa gunting, cutter, pena khat dan kuas. Setiap jam kosong adalah peluang menggambar, melukis kaligrafi, melipat kertas, menggunting pita. Guru yang tidak menarik dan sesi pelajaran yang telah dikuasai adalah kesempatan untuk menghias meja. Apalagi Sitah adalah sosok santri cerdas yang cepat menguasai pelajaran. Sebentar mendengarkan, langsung paham sehingga lebih banyak kesempatan menghias meja. Meja yang pernah di pakai Sitah adalah meja yang penuh ukiran, lukisan kaligrafi, hingga puisi. Suatu hari Bagian Keamanan melihat meja dengan ciri itu di aula. Serta merta sang keamanan memerintahkan penangkapan atas Sitah tanpa investigasi, semata karena ia tahu hanya Sitah yang bisa melakukannya.

From zero to hero. Dari tidak terampil, Sitah bekerja keras hingga menjadi simbol santri terampil. Kami bersebelahan ruang; saya di Bagian Olahraga di ujung gedung, dia di samping saya. Kedua ruang dihubungkan dengan sebuah pintu. Kami leluasa untuk saling mengunjungi. Selama enam tahun di pesantren, beberapa tahun kami sekelas. Puluhan kali saya menyaksikan dan menikmati keterampilannya. Ruang Bagian Olahraga, buku-buku, lemari saya adalah kanvas terbuka bagi Sitah. Sepengetahuan atau tanpa pengetahuan saya, tangan terampil Sitah mengaduk-aduk benda-benda saya untuk sekejap saja berubah menjadi benda-benda indah. Dengan suka cita saya menyambutnya.

Nyatalah bagi Anda, keterampilan dan kreatifitas Sitah. Sekarang tentang keikhlasannya. Bertahun-tahun bersama di pesantren saya cuma mengagumi keterampilan dan kreatifitasnya. Tetapi bertahun-tahun berikutnya, satu lagi kelengkapan Sitah terpampang untuk saya: keikhlasan. Itu pasti keikhlasan yang disetrumkan pesantren kepadanya. Dan hazanah kebajikan bernama keikhlasan yang dimiliki Sitah terpajang untuk saya melalui runititas sangat sederhana, yaitu mengirim kartu lebaran. Kartu lebaran karya tangan terampil dan kreatifnya tak jemu menyapa saya setiap lebaran sejak kami masih bersama hingga bertahun-tahun setelah lulus. Kartu lebaran itu berhenti mengunjungi rumah saya di Wonogiri Utara hanya ketika era digital membuatnya begitu jadul.

Dan inilah ironinya: saya menyadari keikhlasan Sitah yang mengagumkan justru ketika kartu lebaran itu tak lagi ngetren dan Sitah tak lagi mengirimkannya untuk saya. Tersimpan rapi enam belas kartu lebaran Sitah di laci rumah saya, tetapi tak pernah satupun saya balas. Kesadaran saya lahir bertepatan dengan SMS Lebaran dari Sitah sebagai pengganti kartu lebaran. SMS itu menampar saya untuk dua hal: kekejian tidak pernah membalas enam belas kartu lebaran dan keikhlasan Sitah menjalin silaturahmi.

Setelah lama tak bertemu, via facebook saya menyaksikan keterampilan dan kreatifitas yang dibalut keikhlasan mengagumkan itu, kini menopang kesejahteraan hidup Sitah. Pelajaran berharga dari Mister Six! Terimakasih Mister, semoga hidupmu bergelimang kegembiraan. Tetapi sesungguhnya, di samping kekaguman melimpah, saya menyimpan kegeraman yang menyenangkan dari Sitah. Suatu kali, di buku milik saya, Sitah menuliskan kalimat sederhana dalam makna: ’Buku ini hadiah dari Sitah Ahmad Zaenuri atas jasa saya mencucikan celana dalamnya!’

Ya. Geram tetapi menyenangkan karena bagi saya kalimat itu tak lain dari ekspresi keterampilan, kreatifitas dan keikhlasan menjadikan saya sahabat. Sungguh bagi nalar dan naluri sehat, tidak ada alasan untuk marah atas hasil karya keterampilan, kreatifitas dan ketulu
san! {oleh Syahid Widi Nugroho pada 27 Februari 2010 jam 15:26} 

Selasa, 14 September 2010

pembelajaran sorogan

sorogan ustadz madan
Pengelola lembaga pendidikan Ponpes Sirojul Mukhlasin 2, MTs-MA Yajri tidak memberlakukan metode sorogan secara leterlek sebagaimana yang terjadi dalam pembelajaran di lingkungan pondok pesantren salaf, tetapi mengambil ruh dan motivasi dari metode pembelajaran sorogan. Metode ini digunakan sebagai pola pendekatan belajar individual, dengan tujuan pembelajaran yang berpusat pada siswa. sehingga dapat lebih melayani dan mengembangkan potensi akademik peserta didik, juga memotivasi peserta didik untuk melaksanakan akselarasipendidikan dan pembelajaran dengan tidak mengabaikan unsur pendidikan lainnya. Selain itu, kegiatan belajar mengajar dengan metode ini disamping untuk memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diajarkan, juga diarahkan untukl mendorong individu siswa-santri belajar sepanjang hayat (tidak terbatas di ruang kelas) serta mewujudkan masyarakat belajar (learning society) serta kompetisi akselarasi pencapaian ketuntasan.
Dalam pelaksanaannya, metode ini tidak diterapkan secara apa adanya sebagaimana pembelajaran tradisional di pesantren, tetapi ada beberapa inovasi yang diterapkan dalam metode ini untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Beberapa inovasi dalam metode sorogan tersebut adalah :
  1. 1. Moving Class.
Pada sistem ini, manajemen tiap kelas dirancang sedemikian rupa sehingga tercipta iklim belajar yang kondusif dan peningkatan kualitas proses pembelajaran. Pada sistem ini, setiap guru dan mata pelajaran tertentu mempunyai ruang kelas pribadi, sehingga untuk mengikuti pelajaran, setiap siswa-santri harus berpindah dari satu kelas ke kelas lain yang sudah ditentukan.  Ini sesuai dengan istilah moving class itu sendiri yang berarti kelas bergerak. Dengan adanya ruang kelas pribadi bagi setiap guru, siswa-santri harus bisa mencari kelas sesuai dengan mata pelajarannya saat itu..
Hal ini seperti metode sorogan dalam lingkungan pesantren, yang mana santri yang ingin mengkaji suatu kitab akan mendatangi kiai atau ustadz yang dianggap mumpuni untuk mengajarnya. Santri akan menyorogkan kitabnya kepada kiai atau ustadz agar dibacakan sebagaimana lazimnya pembelajaran di pesantren.
Dengan adanya sistem moving class ini siswa-santri dibiasakan untuk belajar secara kontekstual di luar kelas tetapi masih dalam lingkungan komplek madrasah dan pesantren.  Dalam sistem ini, peserta didik dikelompokkan dalam small group menurut kemampuan masing-masing, dan mereka masuk ruang belajar sesuai kelompoknya. Dengan demikian peserta didik yang belum mendapat kesempatan untuk masuk menunggu di luar ruangan sambil mempersiapkan diri guna menyorogkan hasil belajar atau berkonsul.
Dengan jadwal pelajaran yang hanya dua pelajaran setiap harinya, siswa-santri dipersilahkan mengikuti salah satu pelajaran terlebih dahulu, untuk kemudian setelah menyelesaikan satu pelajaran, secara bergantian mengikuti pelajaran yang lain sesuai jadwal pada hari itu.
  1. 2. Team Teaching
Yang dimaksudkan dalam sistem ini adalah adanya dua orang guru atau lebih yang bekerja sama dalam memberikan satu pelajaran tertentu. Sistem ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membantu siswa agar lebih lancar dalam proses belajarnya, juga untuk lebih meningkatkan kerjasama antar guru dalam memikirkan dan mengembangkan mata pelajaran yang diajarkannya.
Guru-guru yang tergabung dalam team teaching ini berasal dari latar belakang pendidikan dan pengalaman yang beragam, sesuai dengan kompetensi yang diajarkan. Dalam pelajaran Biologi misalnya, ada guru yang berlatar belakang pendidikan pertanian, ilmu Biologi murni dan pendidikan biologi. Untuk pelajaran Fisika, ada yang berlatar belakang pendidikan Fisika murni dan Fisika terapan. Atau dalam Bahasa Inggris, para guru yang tersedia mempunyai kemampuan yang menonjol satu sama lain dari empat ketrampilan berbahasa yang ada. Dengan demikian mereka bisa saling bekerjasama dan saling melengkapi satu sama lain. Peserta didik pun bisa lebih berkonsentrasi pada pengetahuan yang mereka minati.
Dalam pelajaran agama, para guru dan ustadz yang tergabung dalam team teachingdisesuaikan dengan passing grade yang akan dilalui siswa-santri. Untuk peserta didik tingkat dasar atau pemula akan diajarkan oleh guru/ustadz yunior, demikian selanjutnya guru/ustadz yang lebih senior akan menangani siswa-santri yang senior pula. Mayoritas para guru dan ustadz yang mengampu mata pelajaran agama adalah alumni madrasah dan pondok ini.
Selain itu, team teaching juga dimaksudkan untuk mengakomodir jumlah peserta didik yang tidak sebanding dengan jumlah guru. Dalam metode sorogan yang lebih berorientasi pada pembelajaran individual, seorang guru menghadapi sejumlah peserta didik yang tidak seimbang merupakan beban dan masalah tersendiri. Untuk itu dengan adanya team teaching diharapkan dapat menjadi solusi bagi berjalannya proses pembelajaran.
  1. 3. Accelerated learning.
Dalam pelaksanaan metode sorogan ini, dimungkinkan bagi peserta didik untuk mempercepat masa studinya jika ia sanggup dan mampu menuntaskan materi-materi atau kompentensi yang telah ditetapkan, lebih cepat dari waktu yang ditentukan..
Dalam hal ini, kualitas peserta didik tidak dilihat dari kelas berapa ia duduk, tetapi seberapa banyak kompetensi yang telah ia tuntaskan dan kuasai. Untuk itu, di madrasah ini tidak mengenal sistem kenaikan kelas sebagaimana layaknya sekolah atau madrasah lainnya.
Sebagai aplikasi dari program akselarasi ini, siswa-santri boleh menambah materi pada jenjang selanjutnya jika memang telah menuntaskan materi yang wajib diikuti pada tahun pembelajaran itu, walaupun secara administrative ia belum menduduki kelas selanjutnya. Sebaliknya, siswa-santri yang secara administratif sudah menduduki kelas yang lebih tinggi, tetapi ternyata ia masih belum menuntaskan materi pada kelas sebelumnya, maka ia dianggap mempunyai hutang yang harus dibayarkan sampai mendapatkan ketuntasan belajar pada materi tersebut.
Sebagai contoh pada mata pelajaran Biologi yang diampu oleh tiga orang guru sebagai bentuk team teaching. Misalkan dalam 1 tahun setiap siswa-santri tingkat kelas dua MA harus menyelesaikan enam bab materi/kompetensi dasar yang telah ditentukan oleh tiga orang guru sebagai pengampu, yang mana peserta didik diberi kebebasan untuk menentukan pilihan guru dan ruang belajar mana dulu yang akan didatangi untuk menyorogkan ilmunya. Jika dalam jangka satu tahun itu seorang siswa-santri dapat menuntaskan enam materi yang telah ditentukan, sementara masih ada waktu luang dalam tahun pembelajaran itu, dan memungkinkan bagi siswa-santri tersebut untuk menambah materi pada jenjang selanjutnya (tingkat kelas tiga), maka kepadanya dipersilahkan untuk menambah materi tersebut sesuai kemampuannya.
Dan sebaliknya, jika dalam tahun itu siswa-santri tersebut belum menuntaskan materi tingkat kelas dua, maka pada saat siswa-santri tersebut secara administratif duduk di tingkat kelas tiga, ia masih harus menuntaskan materi biologi di tingkat kelas dua sebelum mempelajari materi tingkat kelas tiga.
Untuk sementara ini, program akselarasi dengan metode sorogan ini tampak lebih maksimal pelaksanaannya dalam pembelajaran materi keagamaan.
Program ini sudah terbukti pada tahun pembelajaran 2008-2009, dengan lulusnya 3 peserta didik dalam mengikuti UN tingkat MA setelah menempuh pendidikan selama 2 tahun.
Juga ada beberapa peserta didik yang lulus UN tetapi belum menuntaskan materi Madrasah serta Pondok Pesantren, maka mereka belum berhak untuk menerima ijazah kelulusan.
  1. 4. Buku kendali Pembelajaran
Untuk mengontrol kegiatan pembelajaran pada peserta didik, madrasah  memberlakukan monitoring melalui buku kendali pembelajaran yang harus dibawa oleh setiap peserta didik, guna dimintakan tanda tangan dan catatan dari Guru pengampu, sebagai bukti absensi kehadiran, partisipasi pembelajaran dan ketuntasan belajar. Buku ini akan dikontrol oleh Guru Pamong setiap harinya untuk memonitoring kegiatan siswa-santri dalam kegiatan pembelajaran.
  1. 5. Penilaian Portofolio dan Program Aplikasi Madrasah (PAM)
Sesuai dengan metode sorogan yang diterapkan di madrasah ini, kualitas dan ketuntasan peserta didik dalam suatu pembelajaran di nilai sesuai dengan tingkat pencapaiannya. Sebagaimana dalam metode sorogan di pesantren, santri boleh melanjutkan pembelajaran jika sudah dirasa menguasai materi atau kitab sebelumnya. Untuk mengetahui hal tersebut, santri menyorogkan hasil belajarnya kepada kiai atau ustadz yang bersangkutan untuk diuji kemampuannya dalam membaca, menterjemahkan (ala pesantren) dan pemahaman isi kitab tersebut.
Untuk itu setiap guru diharuskan menilai peserta didiknya setiap kali siswa-santri menyelesaikan satu materi atau satu kompetensi, agar betul-betul dapaty diketahui kualitas keilmuannya.
Untuk menyukseskan program metode sorogan ini, dibuatlah kriteria kelulusan peserta didik dalam pembelajaran formal sebagai berikut :
  1. Peserta didik harus lulus dan tuntas dalam mata pelajaran yang menjadi kurikulum madrasah dan pondok pesantren.
  2. Peserta didik harus lulus dalam mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional.
  3. Akhlaq dan tingkah laku selama masa pembelajaran menjadi pertimbangan penentuan kelulusan peserta didik dari madrasah.
  4. Peserta didik harus lulus dalam ujian akhir tertulis dan Praktik.
Dengan acuan tersebut, jika ada salah satu yang tidak memenuhi kriteria yang ditentukan, maka peserta didik belum dinyatakan lulus perndidikan formal madrasah.
Penilaian ini menggunakan prinsip sebagai berikut :
  1. Berorientasi pada kompetensi.
  2. Mengacu pada patokan/standar. Kriteria-kriteria khusus telah ditetapkan untuk masing-masing mata pelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.
  3. Ketuntasan belajar. Pencapaian hasil belajar ditetapkan dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan.
  4. Valid, adil, terbuka dan berkesinambungan. Penilaian dimaksudkan untuk memberikan informasi yang akurat tentang hasil belajar pesrta didik, adil terhadap semua peserta didik, terbuka untuk semua pihak dan dilaksanakan secara terus-menerus untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar peserta didik sebagai hasil kegiatan belajarnya.
Sebagai konpensasi dari sistem penilaian ini, madrasah menyediakan beberapa unit komputer bagi guru untuk memasukkan data nilai setiap peserta didik. Komputerisasi data dan nilai/raport hasil pembelajaran tersebut bisa diakses oleh siapa saja dan kapan saja, teermasuk orang tua atau wali peserta didik. Hal ini dimaksudkan sebagai sarana control dan monitoring terhadap kualitas proses pembelajaran di madrasah ini. Program ini dinamakan Program Aplikasi Madrasah (PAM).
Semua hasil penilaian dalam satu semester diolah untuk kemudian dijadikan raport kemajuan belajar peserta didik di akhir semester. Bentuk raport yang diberikan kepada peserta didik untuk disampaikan kepada orang tua atau walinya berbeda dengan bentuk raport pada madrasah atau sekolah lain. Di madrasah ini, raport diberikan apa adanya berupa print out hasil penilaian guru/ustadz di setiap materi atau kompetensi dasar yang telah diajarkan dan dujikan/disorogkan. Dengan demikian, setiap peserta didik mendapatkan raport sesuai jumlah pelajaran dan materi yang diikutinya, bisa satu siswa-santri mendapat 2 lembar raport untuk satu mata pelajaran jika ia telah menyelesaikan/menuntaskan lebih banyak materi dibanding kawan-kawanya.
Hasil kegiatan Pembelajaran peserta didik tersebut juga dapat diakses secara online melalui internet melalui situs www.yajri.or.id.
Pada prinsipnya, penggunaan metode sorogan yang diterapkan di madrasah ini dimaksudkan untuk membantu para orang tua dalam mendidik putra-putrinya. Ruh dan semangat metode sorogan merupakan sarana perangsang dan motivasi proses pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini didasari dari pengertian bahwa pembelajaran merupakan proses membuat peserta didik belajar dan mempelajari hal-hal yang ia butuhkan dan disediakan untuk itu.
  1. 6. Guru Pamong dan Tutor sebaya
Guru Pamong adalah mereka yang bertugas untuk membina siswa-santri dalam implementasi pendidikan dan pembelajaran terutama di luar kegiatan pembelajaran formal. Mereka adalah para mutakhirrij (alumni) lembaga pendidikan ini yang turut berpartisipasi dalam perjuangan (khidmah) penyelenggaraan pendidikan di lembaga ini, baik mereka itu diminta oleh pengelola lembaga atau atas kemauan mereka sendiri untuk melakukan hal tersebut.
Mereka juga bertugas untuk membantu para orang tua/wali siswa-santri dalam menyimpan dan mengelola uang saku para siswa-santri agar terjamin keamanan dan penghematannya. Dalam konteks ini, para siswa-santri diwajibkan untuk menitipkan uang saku mereka kepada para Guru Pamong masing-masing setiap kali mendapatkannya dari orang tua atau wali mereka.
Guru Pamong juga mempunyai tugas sebagai mitra dan Tutor Sebaya dalam belajar di luar kelas formal. Mereka juga membimbing siswa-santri dalam kegiatan harian yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan.
Setiap menjelang dan akhir liburan, para Guru Pamong didampingi Guru BP dan bagian kesiswaan-keamanan mengadakan interaksi, koordinasi dan konsultasi dengan para orang tua atau wali siswa-santri yang menjemput untuk liburan atau mengantarkannya kembali pascaliburan. Dengan demikian terjalin komunikasi efektif dan dialogis terhadap perkembangan siswa-santri.
  1. 7. Penjemputan dan Pengantaran
Selain untuk tujan komunikasi antar Guru Pamong dan Orang Tua/wali, kegiatan penjemputan dan Pengantaran saat liburan mempunyai arti penting sebagai berikut :
  1. Menumbuhkan partisipasi Orang Tua/Wali terhadap kepedulian dan perhatian terhadap perkembangan peserta didik.
  2. Monitoring partisipasi finansial orang tua/wali dalam menyukseskan program pendidikan dan pembelajaran.
  3. Meningkatkan silaturrohim, silatul afkar dan silatul a’mal.
  4. Keamanan dan ketertiban siswa-santri dalam perjalanan.
  5. Meningkatkan kesadaran orang tua/wali akan tanggung jawab pendidikan bagi putra/putrinya.

untuk adik-adikku ...

karantina UN 2010
Kepada adik – adikku

Calon peserta Ujian Akhir

Yang saya banggakan


Assalamu’alaikum wr wb.,

Alhamdulillah wasy syukru lillah,ash sholatu was salam ‘ala Rosulillah, amma ba’dah.

Pertama kali saya sampaikan selamat kepada kalian semua yang sampai saat ini sudah tercatat dalam daftar Nominasi Calon Peserta Ujian Nasional dan Ujian Madrasah tahun 2010. Semoga tidak ada aral melintang sehingga sampai waktunya kelak semuanya bisa mengikuti ujian dengan selamat dan sukses.


Saya awali tulisan saya ini dengan ucapan selamat karena memang ditengah pelaksanaan kurikulum yang dijalankan di madrasah serta pondok kita ini, boleh tidaknya seseorang siswa-santri mengikuti Ujian akhir masih menjadi perdebatan bagi semua civitas akademika di kampus kita ini, baik itu dari segi pencapaian dan ketuntasan materi/kompetensi ataupun akhlaq dan tingkah laku. Namun sampai saat ini semua yang kita daftarkan untuk mengikuti ujian, nama-namanya masih utuh, tidak berkurang jumlahnya.

Maka, bersyukurlah kalian bahwa pada tahun ini masih belum kita berlakukan diskualifikasi atau pencoretan (eliminasi) calon peserta Ujian Akhir Nasional/Madrasah bagi yang belum tuntas dan menyelesaikan materi pelajarannya atau karena akhlaqnya yang kurang layak untuk dipertimbangkan.


Adik-adikku yang saya banggakan,

Sengaja saya tulis tulisan ini sebagai bentuk “curhat” saya, baik selaku pribadi, guru, maupun yang diberi amanah untuk menjadi Ketua Panitia Madrasah Penyelenggara Ujian.

Sebelum saya lanjutkan tulisan ini, kalaupun kalian kurang berkenan untuk membacanya, silahkan kertas ini kalian remas-remas, sobek-sobek dan kalian buang atau bakar. Saya ridlo dengan hal itu daripada menyakitkan perasaan kalian. Dan saya juga menyadari jika kalian selesai membaca tulisan saya ini belum tentu bisa merubah cara pandan dan gaya hidup kalian untuk menjadi seperti yang saya angankan.

Tapi kalau memang berkenan, silahkan teruskan untuk membacanya, semoga ada manfaatnya.


Adik-adikku,

Sampai saat ini sudah empat kali UCO atau Try Out UN yang kalian ikuti. Bagaimana hasilnya tentu kalian sendiri sudah tahu walaupun pihak madrasah belum menempelkannya secara resmi, karena memang dari UCO inilah diharapkan setiap individu mampu menyadari kekuatan dan kelemahannya dalam menghadapi Ujian yang sesungguhnya. Untuk itulah selalu saya tekankan agar mengerjakan UCO dengan kemampuan diri yang maksimal, jangan menyontek atau mengandalkan jawaban dari orang lain, karena hal itu hanya akan menipu diri sendiri.

Untuk yang sudah memperoleh hasil yang memuaskan saya ucapkan selamat dengan syarat jangan merasa puas dan takabbur. Teruslah berupaya untuk meningkatkan prestasi yang lebih maksimal lagi, tapi jangan dipaksakan sehingga bisa over dosis. Bagi yang belum beruntung, masih ada waktu untuk memperbaiki diri, jangan patah semangat, dengan terus memohon ridlo dan ma’unah Allah agar memudahkan kita dalam belajar dan berusaha.


Adik-adikku,

Baik bagi kalian yang sudah berhasil muaupun yang belum puas dengan hasil UCO, saya mengajak untuk terus berusaha untuk lebih giat belajar dan berusaha guna menyongsong Ujian Akhir di Madrasah dan Pondok ini, baik itu Ujian Nasional maupun Ujian Madrasah.

Ingatlah bahwa sebagian dari masa depanmu adalah kau ukir dan kau tentukan dari keberhasilanmu dalam ujian ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan berharga ini dengan meremehkannya ataupun tidak memperdulikannya. Persiapkanlah segala sesuatunya dengan maksimal agar kesuksesan dan kebahagiaan dapat kamu raih. Ingat juga bahwa penyesalan selalu datang belakangan.

Mumpung belum terlambat, ayo kita perbaharui niat dan usaha kita untuk kesuksesan dan kebahagiaan itu. Inilah saatnya untuk membuktikan bahwa kita bisa dan mampu untuk berprestasi, bahwa kita tidak menyia-nyiakan kesempatan, waktu dan harta dari orang tua serta wali yang telah membiayai belajar kita di madrasah dan pondok ini. Inilah kesempatan untuk membuktikan kepada guru-guru, asatidz dan terutama Abah Kiayi, bahwa kamu bukan siswa-santri yang tidak berbakti dengan ilmu dan pengetahuan yang telah mereka ajarkan.


Adik-adikku,

Madrasah dan pondok tempat kita bernaung saat ini sudah kadung terkenal, terutama eksistensi Abah dengan inovasi kurikulum pendidikan dan pembelajarannya. Sebelum ada pondok pun madrasah ini juga sudah terkenal dengan alumninya. Kalaulah saat ini kalian sebagai calon alumni Yajri, calon alumni santri Abah, lalu sudah siapkah kalian untuk menjadi alumni dengan keadaan dan kondisi yang ada pada diri kalian saat ini ?

Saya tidak akan mengatakan bahwa pihak pengelola madrasah akan malu kalau kalian tidak lulus, tetapi saya ingin mengembalikannya pada diri kalian. Kalian telah menempuh pendidikan dan pembelajaran di sini + 3-6 tahun, lalu apakah yang akan kalian banggakan setelah keluar dari madrasah/pondok ini ? apa yang kalian peroleh selama di sini ? apa yang bisa kalian manfaatkan setelah tidak lagi belajar di sini ? apa yang akan kalian jadikan bekal untuk meneruskan belajar di perguruan tinggi atau pondok pesantren lainnya atau ketika kembali ke rumah ? apa yang akan kalian amalkan dan kerjakan dalam kehidupan nyata bermasyarakat kelak ? pantaskah untuk menerima ijazah dan surat tanda tammat belajar …? sudah layakkah menyandang gelar “ALUMNI YAJRI” ?


Adik-adikku,

Terpaksa saya menulis tulisan ini karena saya tidak mampu untuk menyampaikannya secara verbal di depan kalian karena memang keterbatasan kompetensi verbal saya serta waktu yang bisa saya manfaatkan.

Sekali lagi, kalau kalian merasa terganggu dan kertas ini tiada berguna untuk kalian, silahkan buang atau bakar saja daripada mengganggu dan menyita waktu kalian.

Terus terang amanah yang saya terima sebagai Kepala Madrasah amatlah berat untuk mengantarkan kalian pada sebuah kesuksesan yang dinamakan LULUS UJIAN. Kelulusan sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab Kepala Madrasah, Pak Kiayi, Guru-guru maupun Asatidz, karena yang akan mengikuti ujian dan mengisi lembar jawab adalah siswa-santri, yaitu kalian sendiri. Untuk itu, sebesar usahamu, sebesar itu pula keuntungan yang nakan kamu peroleh.

Dulu Kiayi saya sering mengatakan, “ Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu ”. Maksudnya, sebesar kesadaran diri kita dalam menghadapi ujian dan kehidupan, sebesar itu pula keuntungan yang akan kita peroleh. Jika kesadaran itu baru sebatas yang penting hidup di pondok ini happy-happy saja ya sebatas itulah yang kamu dapatkan, setelah puas dengan ke-happy-anmu, tidak ada kepuasan lain yang menyertainya, apalagi kepuasan batin yang mendapat rahmat dan ridlo Allah SWT.

Saya sering merasa iri jika melihat dan sedikit membanding-mbanding masa usia kalian dengan masa usia pelajar sekolah/madrasah atau santri pondok lain, yang mana saya melihat kedewasaan kalian belum sebanding dengan mereka. Pada masa seperti usia kalian saat ini, seharusnya sudah tumbuh kedewasaan berpikir dan berbuat yang lebih layak lagi daripada yang kalian kerjakan saat ini. Ini bukan berarti saya menganggap kalian kekanak-kanakan. Lihatlah teman-teman seusia kalian di luar sana, lalu bandingkan dengan diri kalian sendiri, apa kelebihan dan kekurangan kalian ?

Disaat yang Lain berjibaku, berjihad dan berjuang untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan dengan bersungguh sungguh belajar, mengikuti les dan bimbingan belajar, privat dengan biaya mahal, menambah ibadah sunnah dan berdoa untuk mendekatkan diri pada Allah dan mencari ridlo serta ma’unahNya, nah apa yang kalian kerjakan …?


Adik-adikku,

Masih ada waktu untuk berbuat, galilah potensi dalam dirimu dengan prestasimu untuk meraih kesuksesan dan kebahagianmu, jangan kau sia-siakan amanah dari Allah SWT dalam mengelola waktu dan tubuhmu. Gunakan kesempatan yang ada untuk menambah kualitas hidupmu.

Masih banyak yang ingin saya sampaikan sebenarnya, insya Allah dilain kesempatan bisa diteruskan. Anggaplah ini bukan nasehat tapi sekedar curhat saya kepada kalian, semoga bermanfaat, mohon maaf kalau mengganggu dan menyita waktu dan pikiran kalian, semoga Allah meridloi.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Secang, 6 Maret 2010

Akhukum fillah,


Sitah Akhmad Zaenuri