Mengenai Saya

Foto saya
secang magelang, jawa tengah, Indonesia

Selasa, 28 Desember 2010

my profile

Sitah Akhmad Zaenuri
Kacamata merupakan salah satu ciri khas dari penampilannya, disamping tasnya yang berisi aneka ATK sehingga bisa diberi laqob sebagai kantor berjalan. Pendidikan S1 ditempuh pada fakultas Syari’ah di IAIN Walisongo Semarang, yang mungkin agak melenceng dari profesinya sekarang. Untuk itulah Ia meneruskan studynya di Program Pascasarja di kampus yang sama dan mengambil konsentrasi Pendidikan Islam, sehingga mendapat gelar MSI (Magister Studi Islam, bukan bukanMasih Single n Ijen lho …) walaupun sempat hampir di DO karena molor dalam penggarapan tesisnya sehingga melampaui batas kewajaran jenjang semester yang diberikan. Tema Tesisnya pun tidak jauh dari kegiatannya hari-hari ini, yaitu tentang "metode sorogan dalam pembelajaran formal", yang menjadi issue sentral dalam proses kegiatan pembelajaran dan pendidikan di pondok dan madrasah ini (tapi bukan berarti Tesis tersebut menjadi tiket dalam mengemban amanat sebagai Kamad). Yang mana metode ini diyakininya bisa menghantarkan peserta didik untuk meraih prestasi dan kesholehan pribadi dan jama’i (sosial) jika betul-betul dilaksanakan dengan maksimal, karena itu merupakan pengejawentahan dari learning society dan teori tholabul ‘ilmi yang menjadi kewajiban setiap individu.
Perjalan khidmahnya pun cukup unik, karena mengalami dua fase pengabdian di lembaga pendidikan ini. Fase pertama adalah pada tahun pelajaran 1996-1997, selepas pengabdiannya di Ponpes Roudloh Hasanah Medan Sumut yang menjadi kewajibannya setelah menyelesaikan pendidikan di ITTC/KMI Darussalam Gontor Ponorogo pada tahun 1995. Pada fase pertama tersebut digunakan juga untuk ngangsu kawruh untuk menelaahkutub turots kepada sesama ustadz yang mengabdi pada saat itu. Kemudian pada Tahun 2003, setelah memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam, Ia kembali lagi diberi kertas undangan rapat koordinasi pengembangan kurikulum oleh KH. Minanurrohman Anshori untuk memulai lagi sebuah pengabdian dan pengamalan ilmu yang telah diperolehnya, dengan tetap fokus pada pembelajaran Bahasa Arab. Setelah itu, tugas tambahan ilegalpun mulai bertengger di pundaknya, mulai pembina OSIS/BESS, Waka bidang kesiswaan, kemudian bidang kurikulum, ketua Panitia Penerimaan Siswa'Santri Baru selama 2 periode berturut-turut, dll. Namun semua itu tetap diterimanya dengan harapan untuk sebuah pengabdian pada ilmu, Kiai dan Orang Tua (birrul walidain). Kesyukuran akan ni’mat Allah akan ilmu dan ma’rifatyang bermanfaat (‘ilmun yuntafa’u bihi) adalah harapan besar darinya agar bisa menjadi tiket dan temannya kelak ketika menghadap sang Kholik, karena 2 tiket lainnya (walad sholih yad’u lahu dan shodaqoh jariyah) masih belum bisa diaplikasikan dengan sempurna.
Amanah berat sebagai Kepala Madrasah Aliyah Yajri yang diembannya mulai awal Februari 2008 bukanlah sebuah jabatan ataupun puncak karier yang diimpikan, tapi mungkin itu adalah sebuah “kecelakaan sejarah” yang harus dilakoninya sebagai bagian dari sejarah hidupnya sesuai mottonya, “innamal mar’u haditsun ba’dahu, fakun haditsan hasanan liman wa’a, wa laisal mar’u yuuladu ‘aliman, fa man dalla ‘ala khoirin fa lahu mitslu ajri faa’ilihi

Sabtu, 18 Desember 2010

Metode Sorogan

1.      Pengertian Metode Sorogan
Sorogan berasal dari bahasa Jawa sorog yang berarti menyodorkan (Marwan Saridjo,1989:33). Secara istilah, Win Usuluddin (2002:41) menerangkan bahwa metode ini disebut sorogan karena santri/peserta didik menghadap kiai atau ustadz pengajarnya seorang demi seorang dan menyodorkan kitab untuk dibaca dan atau dikaji bersama dengan kiai atau ustadz tersebut. Departemen Agama (2001:74-75) mendefinisikan metode sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individual), di bawah bimbingan seorang ustadz atau kiai
Sementara itu, Mastuhu (1994:61) dan Zamakhsyari Dhofier (1994:21) menyebut sorogan sebagai cara belajar secara individual antara santri dan kiai, yang kemudian terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Secara spesifik Dhofier menambahkan bahwa metode ini diberikan dalam pengajian kepada santri-santri yang telah menguasai pembacaan Al Qur’an atau atau sebagai pembelajaran dasar kepada santri-santri baru yang masih membutuhkan bimbingan individual sebelum mengikuti pengajian kitab di pesantren  (Imran Arifin,1991:38).
Pengertian lain tentang sorogan disampaikan oleh Abdullah Syukri Zarkasyi (2005:72) dan Imran Arifin (1991:38), yaitu dalam bentuk pendidikan yang bersifat individual ini para santri satu persatu datang menghadap kiai atau para ustadz (asisten kiai) dengan membawa kitab tertentu. Selanjutnya kiai atau ustadz membacakan kitab tersebut beberapa baris atau kalimat demi kalimat dengan maknanya dengan bahasa yang  lazim terdapat dalam dunia pesantren. Setelah selesai, santri mengulangi bacaan tersebut sampai dirasa cukup dan bergantian dengan yang lainnya.
Ditambahkan oleh Arifin (1991:38), dalam proses tersebut biasanya santri memberi catatan untuk memberi pengesahan bahwa tanda/catatan tersebut adalah bukti bahwa kitab itu telah dibaca oleh kiai atau ustadznya. Dalam proses pengulangan, santri harus benar-benar menyiapkan diri sebelumnya mengenai hal apa dan bagaimana isi kitab yang bersangkutan yang akan dan sudah diajarkan untuk dapa naik ke jenjang selanjutnya. Dhofier (1994:28) menambahkan, dengan adanya sistem pemaknaan yang sedemikian rupa, santri harus tahu arti maupun fungsi dan kedudukan (i’rob) kata dalam suatu kalimat bahasa Arab, santri diharuskan menguasai pembacaan dan terjamahan tersebut secara tepat dan hanya bias menerima pelajaran selanjutnya bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Untuk itu, guru pada tingkatan ini selalu menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai murid lebih dari 3 atau 4 orang. 
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran tradisional, metode sorogan dianggap sebagai metode yang rumit dan sulit (Imran Arifin,1991:38, dan Zamakhsyari Dhofier,1994:28). Kerumitan metode ini dikarenakan sangat memerlukan kesabaran, kerajinan dan kedisiplinan santri secara pribadi. Ini berarti keberhasilan dalam metode ini dominan sangat ditentukan oleh ketaatan santri itu sendiri terhadap kiai dan ustadznya, meskipun pada hakikatnya penjelasan dari kiai atau ustadz juga ikut menentukan. Menurut Dhofier, banyak peserta didik dengan metode ini di pedesaan yang gagal karena tidak adanya kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid.
Sebagai model pendidikan dasar, Zamakhsyari Dhofier (1994:29) juga menambahkan bahwa santri sebagai peserta didik harus mematangkan diri pada tingkat sorogan sebelum dapat mengikuti pendidikan tingkat selanjutnya di pesantren. Hal ini menurut Dhofier, karena hanya santri-santri yang telah menguasai metode sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari pelaksanaan metode bandongan dan wetonan. Sebagaiman diketahui, bahwa mayoritas pembelajaran di pesantren adalah menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab sebagai referensinya. Dan melalui metode sorogan seorang santri dapat belajar memahami bahasa Arab lebih mendalam[1].
Walaupun metode tersebut dianggap rumit, Qodry A. Azizy (2000:106) menilai bahwa metode sorogan adalah lebih efektif dari pada metode-metode yang lain dalam dunia pesantren. Dengan cara santri menghadap kiai atau ustadz secara individual untuk menerima pelajaran secara langsung, kemampuan santri dapat terkontrol oleh ustadz dan kiainya. Dhofier (1994:29) menambahkan, dengan metode ini memungkinkan bagi seorang guru (ustadz atau kiai) untuk mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid/santri dalam menguasai pelajaran, atau sebagai pendidikan dasar di pesantren, untuk menguasai bahasa Arab yang menjadi bahasa kitab.
Selain hal tersebut di atas, Tim Ditpekapontren Departemen Agama RI (2003:77) juga mencatat beberapa kelebihan metode sorogan sehingga bias disebut sebagai metode yang intensif. Kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya;
a)      Ada interaksi individual antara kiai dan santri
b)      Santri sebagai peserta didik lebih dapat dibimbing dan diarahkan dalam pembelajarannya, baik dari segi bahasa maupun pemahaman isi kitab.
c)      Dapat dikontrol, dievaluasi dan diketahui perkembangan dan kemampuan diri santri.
d)     Ada komunikasi efektif antara santri dan pengajarnya.
e)      Ada kesan yang mendalam dalam diri santri dan pengajarnya.
Sementara Qodry Azizy (2000:106) juga menilai kelemahan metode ini (dan beberapa metode lainnya yang sering digunakan oleh pesantren) adalah tidak tumbuhnya budaya tanya jawab (dialog) dan perdebatan, sehingga timbul budaya anti kritik terhadap kesalahan yang diperbuat sang pengajar pada saat memberikan keterangan. Dan mungkin inilah yang menyebabkan sebagian ahli dan tenaga pendidikan kontemporer tidak memanfaatkan metode ini sebagai metode pembelajaran resmi.
2.      Teknik Pembelajaran Metode Sorogan
Pembelajaran (pengajian) dengan metode sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu yang di situ tersedia empat duduk untuk ustadz/kiai sebagai pengajar, dan di depannya tersedia juga bangku atau meja kecil untuk meletakan kitab bagi santri yang menghadap. Sementara itu, santri yang lainnya duduk agak menjauh sambil mendengarkan apa yang disampaikan atau melihat peristiwa apa saja yang terjadi pada saat temannya maju menghadap dan menyorogkan kitabnya kepada ustadz/kiai sebagai bahan perbandingan baginya pada saat gilirannya tiba.
Secara teknis, Ditpekapontren Departemen Agama RI (2003:74-86) menguraikan teknik pembelajaran dengan metode sorogan sebagai berikut:
1.      Seorang santri yang mendapat giliran menyorogkan kitabnya menghadap langsung secara tatap muka kepada ustadz atau kiai pengampu kitab tersebut. Kitab yang menjadi media sorogan diletakan di atas meja atau bangku kecil yang ada di antara mereka berdua.
2.      Ustadz atau kiai tersebut membacakan teks dalam kitab dengan huruf Arab yang dipelajari baik sambil melihat (bin nadhor) maupun secara hafalan (bilghoib), kemudian memberikan arti/makna kata per kata dengan bahasa yang mudah dipahami.
3.      Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan ustadz atau kiainya dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya. Selain mendengarkan dan menyimak, santri terkadang juga melakukan catatan-catatan seperlunya untuk :
a.       Bunyi ucapan teks yang berbahasa dan huruf Arab, dengan memberi harakat atau syakal terhadap kata-kata yang ada dalam kitabnya. Pensyakalan ini sering disebut juga pendlabitan atau ngabsahi atau ngesahi. Harakat yang ditulis selain sesuai dengan bacaan kosa kata (mufrodāt) juga disesuaikan dengan fungsi dan kedudukan kata atau kalimat (i’rab).
b.      Santri juga menuliskan arti setiap kosa kata (mufradāt) dengan bahasa ibu santri, langsung di bawah kata tersebut dengan menggunakan huruf Arab pegon, dilengkapi dengan simbol-simbol fungsi dan kedudukan kata atau kalimat tersebut. Misalnya kata yang berkedudukan sebagai mubtada’ (subyek) diberi simbol huruf mim yang juga mempunyai arti/bacaan khusus “utawi/adapun sebagai tanda bacaan subyek, kata yang berkedudukan khabar (predikat) diberi simbol huruf kha’ di depannya dan diberi  istilah “iku/itu’ sebagai tanda predikat, dan lain sebagainya.
4.      Setelah selesai pembacaannya oleh ustadz atau kiai, santri kemudian menirukan kembali apa yang telah disampaikan di depan, bisa juga pengulangan ini dilaksanakan pada pertemuan selanjutnya sebelum memulai pelajaran baru. Dalam peristiwa ini, ustadz atau guru melakukan monitoring dan koreksi seperlunya kesalahan atau kekurangan atas bacaan (sorogan) santri.


[1]  Kitab-kitab yang menjadi bahan pembelajaran dan referensi dalam dunia pesantren yang disebut “kitab kuning” mayoritas menggunakan bahasa Arab dan berupa huruf-huruf Arab tanpa  syakal atau harakat, atau yang lebih dikenal dengan istilah  “kitab gundul”. Oleh karena itu, untuk dapat membaca dan, memaknai (ngesahi) dan memahaminya, seorang santri sangat memerlukan bimbingan kiai atau ustadznya yang juga selalu mengamatinya dengan seksama.  Kalau diperhatikan lebih lanjut,  pemaknaan kitab gundul (gandul) hanyalah sekedar metode pengajaran bahasa Arab bagi orang Jawa/Madura yang diciptakkan oleh para kiai terdahulu. Tentu saja pemaknaan dengan bahasa Jawa/Madura/Sunda seperti yang terjadi di banyak pesantren salaf di Indonesia tidak didapatkan di negara-negara lain  yang seharusnya menjadi perhatian kita adalah tidak sedikitnya para santri yang beranggapan seolah-olah makna gandul itu merupakan (bagian) ajaran agama itu sendiri yang tidak boleh dievaluasi, dikritik, lebih-lebih diubah. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kiai, Jakarta, LP3ES, 1994, hal 28-30. lihat juga, Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005, hal 74., atau Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, Jogjakarta, LKiS, 2000, 107-108.

Kaligrafi sebagai manifestasi seni Islam

Kaligrafi[1] adalah seni menulis atau bisa dikatakan kepandaian menulis indah. Ia merupakan wujud keindahan dengan nilai-nilai spiritual yang memberi efek kesenangan dan hiasan. Sedangkan keindahan sendiri menghadirkan kehalusan budi dan karya manusia. Kaligrafi yang dalam bahasa Arab disebut dengan al khath juga merupakan identitas, sarana ibadah dan bahan renungan pesan-pesan Ilahi.

Kaligrafi sebagai identitas karena dewasa ini kaligrafi identik dengan hasil kesenian (grafis) yang bernilai islami (art of Islamic art), karena materi utama dari karya grafis ini adalah ayat-ayat qauliyyah Ilahiyyah dan  ahadits nabawiyyah disamping juga untaian hikmah berbahasa Arab. Sementara kaligrafi sebagai sarana ibadah adalah adanya motifasi tersembunyi dari kaligrafi itu sendiri yang mendorong kaligrafer ataupun para penikmatnya untuk lebih “membaca” pesan-pesan Ilahi yang termaktub dalam tulisan tersebut.

Didin Sirojuddin, seorang kaligrafer kawakan Indonesia mengungkapkan bahwa wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW yang sangat revolusioner itu mempunyai peran yang besar dalam perkembangan kaligrafi[2]. Ayat-ayat Iqra’[3] itulah yang menjadi “ruh” kebangkitan aksara Arab sehingga turut menghiasi masa kejayaan Islam masa lampau sampai saat ini. Dengan adanya ruh tersebut, kaligrafi Islam tidak hanya bernilai artistik, tapi juga transendental secara makna. Keindahannya berbaur dengan nilai-nilai spiritual.

Sebagai art of Islamic art, kaligrafi merupakan satu-satunya hasil kesenian yang terus tumbuh sehingga mencapai puncak perwujudannya melebihi berbagai seni Islam lainnya. Bahkan, jika dibandingkan dengan jenis-jenis tulisan seni lainnya, kaligrafi Arab tetap menduduki level tertinggi yang tidak pernah digapai oleh seni tulis mana pun di dunia ini.

Dalam dunia peradaban Islam, kaligrafi (pernah) memiliki ketergantungan timbal balik (simbiosis mutualisme) yang erat dan tak mungkin terpisahkan. Setidaknya Ibnu Khaldun pernah mencatat dalam Muqaddimahnya bahwa kaligrafi juga bergantung kepada eksistensi peradaban yang menaunginya. Sebagai bukti, ketika kerajaan Islam mulai lemah dan mundur, maka kemahiran menulis kaligrafi juga mulai surut[4].

Pada masa selanjutnya (sampai saat ini), kaligrafi terus mengalami perkembangan yang pesat baik dari corak ragamnya, tekhnik penulisannya, sampai pada inovasi gaya dan visualisasinya mulai dari gaya klasik sampai kontemporer yang dipengaruhi oleh bentuk seni lain. Realitas ini membuat kaligrafi Arab memilik pesona tersendiri sehingga menarik perhatian khayalak luas untuk menggali dan mengkajinya baik itu oleh praktisi kaligrafi itu sendiri maupun mereka yang berada out side dari kaligrafi itu.

     Namun, mayoritas para pengkaji kaligrafi tersebut lebih berkonsentrasi pada kaligrafi sebagai ekspresi kesenian tulis-menulis secara praktis sebagai sebuah ketrampilan. Yang menjadi sasaran adalah memperkenalkan kaedah-kaedah penulisan (qawa’id al kitabah) dan teori pelatihannya. Sebagian besar dari buku-buku kajian tersebut mengambil refensi utama dari kitab-kitab utama yang memuat kaidah-kaidah tulisan Arab semisal karya Hasyim Muhammad al Khaththath, Qawa’id al Khath al ‘Araby (Baghdad, 1961).[5] Ataupun kalau tidak, mereka banyak menulis kaligrafi dari aspek historis dengan menampilkan para tokoh-tokoh yang berpengaruh pada zamannya[6].  Dan sangat jarang (terutama di Indonesia) hasil kajian yang membahas kaligrafi dari aspek filosofis dan wacana kebudayaan Islam yang aktual dan empiris.

Berangkat dari deskripsi di atas, penulis berusaha memfokuskan paper ini pada kajian kaligrafi sebagai manifestasi[7] seni Islam dengan menelusuri peran kaligrafi dalam sejarah peradaban Islam. Dalam penulisan paper ini, untuk efisiensi pembahasan, sengaja penulis tidak akan banyak menyinggung kaligrafi dari aspek historis kemunculannya (asal muasalnya) ataupun aspek skill praktis dan perkembangan perubahan gaya, corak serta jenisnya, tapi lebih pada motivasi  perkembangan kaligrafi dalam peradaban Islam terutama pascapewahyuan (diturunkannya al Qur’an).



[1]  Penyebutan istilah kaligrafi di paper ini dimaksudkan untuk kaligrafi Arab/Islam (al khath al Araby), kecuali ada penambahan kata-kata tertentu yang ditujukan untuk maksud tertentu pula, exp. Kaligrafi China, kaligrafi Jepang, dll. 
 [2] Rubrik Sukses, Majalah GONTOR, Jakarta, Edisi 05 Tahun I, Rajab 1424H/September 2003M, hlm 57.
[3] Lihat QS. al Alaq ; 1- 5 dan al Qalam ;1
[4]  Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Mesir, Musthafa Muhammad, tth, Vol. I, hlm 420.
[5]  Selain Hasyim Muhammad al khaththath, para penulis buku senada adalah Hassan Massoud, Al Khath al ‘Araby (Caligraphie arabe Vivante) (Paris,1981), dan di Indonesia banyak bermunculan buku-buku praktis semacam ini yang diantaranya ditulis oleh Sirojuddin, Pelajaran Kaligrafi Islam, (Jakarta, 1985), Serial Belajar Kaligrafi, (1991-1997, delapan jilid), Abdul Karim Husein, Tuntunan Menulis Huruf Halus Arab, (Jakarta, 1970), Misbahul Munir, Pelajaran Menulis Indah Huruf Arab, (Surabaya, dua jilid), Dede Nuruzzaman, Kalgrafi dan Tahsinul Khat, (1987, dua jilid), Muthalib Alfasiry, Qiwaamul Khath,,(Jepara, dua jilid), Mausu’ah al Khathathin, (Jepara), Ulul Aufa, Belajar Kaligrafi, (Kudus), dan lain sebagainya.
 [6] Disamping Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya, penulis lain diantaranya adalah Yasin Hamid safadi, Islamic Calligraphy, (London, 1978), Ismail Roji’ al Faruqi dan Lois Lamya al Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York, 1986), Kamil Al Baba, Ruh al Khat al ‘araby, (Beirut, 1983), dan D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta, 1985).
[7]  Manifestasi berati pembuktian, pernyataan perwujudan dan pengejawentahan. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Arkola, 1994,  hlm. 435. 

Selasa, 14 Desember 2010

KETIKA RINDU SAHABAT MENERPA

DRAGONERS-695 'C 1995
PAMER KEIKHLASAN
Untuk: Sitah Akhmad Zaenuri

Prestasi pesantren yang sampai saat ini belum terkalahkan adalah juara keikhlasan. Namanya juga keikhlasan, saya tidak bisa menceritakannya secara detil untuk Anda. Menjadi klise dan susah dipercaya kalau keikhlasan itu hanya saya gambarkan dengan gaji gurunya yang hanya lima puluh ribu tapi beretos kerja seperti menerima lima puluh juta. Menjadi hambar pula kalau saya tuturkan bahwa keikhlasan hanya dilihat dari jam kerja mereka yang dua puluh empat jam, bahkan dua puluh empat jam itu masih dirasa kurang untuk menuntaskan detil perjuangan. Menjadi absurd kalau saya gambarkan wajah keikhlasan pesantren sebagai wajah yang hanya menengadah kepada Tuhan dan mengesampingkan motif-motif materi. Benar-benar kabur nilai keikhlasan itu kalau saya narasikan karena hanya Tuhan yang mendeteksi keikhlasan sesungguhnya. Setiap kata dari manusia tidak sahih dan absah untuk mendeskripsikan keikhlasan pesantren. Anda sendiri yang harus datang ke sana dan mencicipi nafas kehidupannya: mereka menghirup udara keikhlasan dan dikeluarkan dalam bentuk keikhlasan pula.

Melihat gelagat kapitalisme dan kecenderungan materialisme sekarang ini, nampaknya prestasi itu akan menjadi rekor permanen yang dikukuhkan untuk pesantren. Hari ini dan seterusnya akan dipenuhi kompetisi untuk menghapus Tuhan dari setiap pertimbangan pengambilan keputusan. Bila ini benar terjadi, maka keikhlasan akan dimonopoli pesantren karena hanya di pesantren Tuhan masih dipertimbangkan. Rekor keikhlasan pesantren itu juga berpotensi menurunkan rekor baru: juara menanamkan keikhlasan pada darah setiap santrinya, bahkan ke dalam darah orang tua santri, para tamu dan simpatisan. Apalagi rakyat jelata, para pesohor negeri yang bersilaturahmi, hanya mampu menyumbangkan ratusan juta kebaikan kepada pesantren tanpa sedikit pun bisa mempengaruhinya untuk menjadi merah, hijau, kuning atau biru. Siapapun tak akan berdaya menerbitkan kepentingan selain lillah di dalam pesantren. Pengalaman puluhan tahun menegaskan: siapapun yang bermain-main dengan keikhlasan pesantren akan terpental. Keikhlasan itu telah mengkristal menjadi sistem persis samudra: semua kotoran akan terpinggirkan tercampak di bibir pantai.

Pesantren bergerak cepat dan dinamikanya menjadi pusaran keikhlasan yang dasyat. Siapa pun yang berkunjung akan masuk tersedot ke dalam pusaran itu. Besar kecil keikhlasan yang mampu diterima tergantung besar kecilnya seseorang menghirup oksigen keikhlasan dari sana. Ribuan jilid buku tidak akan cukup menuturkan kisah-kisah keikhlasan dari rahim pesantren. Di antara yang banyak itu, saya ingin menyampaikan salah satunya untuk Anda.

Namanya Sitah Ahmad Zaenuri. Asli magelang, berkulit putih, berwajah bulat, bertinggi sedang, berambut lurus, gigih, berkemauan keras, terampil, kreatif dan menghirup keikhlasan dalam porsi luar biasa dari pesantren. Tiga ciri terakhir akan saya garisbawahi karena untuk ketiganya saya menjadi saksi kunci. Sitah, begitu saya memanggilnya, lahir tidak dengan bakat keterampilan yang memadai, melainkan biasa saja seperti bayi lainnya. Tetapi kreatifitas yang dititipkan Tuhan dalam dirinya melebihi ambang batas rata-rata. Cadangan kreatifitas yang berlebihan itulah yang mengantarkan Sitah menjadi pengurus Bagian Keterampilan (Baketram) OPPM. Menjadi anggota Baketram saja sudah prestisius, apalagi berperan pengurus, tentu Sitah telah menjadi simbol santri terampil di pesantren kami. Sitah kreatif memanfaatkan setiap peluang untuk meningkatkan keterampilan. Sitah selalu membawa gunting, cutter, pena khat dan kuas. Setiap jam kosong adalah peluang menggambar, melukis kaligrafi, melipat kertas, menggunting pita. Guru yang tidak menarik dan sesi pelajaran yang telah dikuasai adalah kesempatan untuk menghias meja. Apalagi Sitah adalah sosok santri cerdas yang cepat menguasai pelajaran. Sebentar mendengarkan, langsung paham sehingga lebih banyak kesempatan menghias meja. Meja yang pernah di pakai Sitah adalah meja yang penuh ukiran, lukisan kaligrafi, hingga puisi. Suatu hari Bagian Keamanan melihat meja dengan ciri itu di aula. Serta merta sang keamanan memerintahkan penangkapan atas Sitah tanpa investigasi, semata karena ia tahu hanya Sitah yang bisa melakukannya.

From zero to hero. Dari tidak terampil, Sitah bekerja keras hingga menjadi simbol santri terampil. Kami bersebelahan ruang; saya di Bagian Olahraga di ujung gedung, dia di samping saya. Kedua ruang dihubungkan dengan sebuah pintu. Kami leluasa untuk saling mengunjungi. Selama enam tahun di pesantren, beberapa tahun kami sekelas. Puluhan kali saya menyaksikan dan menikmati keterampilannya. Ruang Bagian Olahraga, buku-buku, lemari saya adalah kanvas terbuka bagi Sitah. Sepengetahuan atau tanpa pengetahuan saya, tangan terampil Sitah mengaduk-aduk benda-benda saya untuk sekejap saja berubah menjadi benda-benda indah. Dengan suka cita saya menyambutnya.

Nyatalah bagi Anda, keterampilan dan kreatifitas Sitah. Sekarang tentang keikhlasannya. Bertahun-tahun bersama di pesantren saya cuma mengagumi keterampilan dan kreatifitasnya. Tetapi bertahun-tahun berikutnya, satu lagi kelengkapan Sitah terpampang untuk saya: keikhlasan. Itu pasti keikhlasan yang disetrumkan pesantren kepadanya. Dan hazanah kebajikan bernama keikhlasan yang dimiliki Sitah terpajang untuk saya melalui runititas sangat sederhana, yaitu mengirim kartu lebaran. Kartu lebaran karya tangan terampil dan kreatifnya tak jemu menyapa saya setiap lebaran sejak kami masih bersama hingga bertahun-tahun setelah lulus. Kartu lebaran itu berhenti mengunjungi rumah saya di Wonogiri Utara hanya ketika era digital membuatnya begitu jadul.

Dan inilah ironinya: saya menyadari keikhlasan Sitah yang mengagumkan justru ketika kartu lebaran itu tak lagi ngetren dan Sitah tak lagi mengirimkannya untuk saya. Tersimpan rapi enam belas kartu lebaran Sitah di laci rumah saya, tetapi tak pernah satupun saya balas. Kesadaran saya lahir bertepatan dengan SMS Lebaran dari Sitah sebagai pengganti kartu lebaran. SMS itu menampar saya untuk dua hal: kekejian tidak pernah membalas enam belas kartu lebaran dan keikhlasan Sitah menjalin silaturahmi.

Setelah lama tak bertemu, via facebook saya menyaksikan keterampilan dan kreatifitas yang dibalut keikhlasan mengagumkan itu, kini menopang kesejahteraan hidup Sitah. Pelajaran berharga dari Mister Six! Terimakasih Mister, semoga hidupmu bergelimang kegembiraan. Tetapi sesungguhnya, di samping kekaguman melimpah, saya menyimpan kegeraman yang menyenangkan dari Sitah. Suatu kali, di buku milik saya, Sitah menuliskan kalimat sederhana dalam makna: ’Buku ini hadiah dari Sitah Ahmad Zaenuri atas jasa saya mencucikan celana dalamnya!’

Ya. Geram tetapi menyenangkan karena bagi saya kalimat itu tak lain dari ekspresi keterampilan, kreatifitas dan keikhlasan menjadikan saya sahabat. Sungguh bagi nalar dan naluri sehat, tidak ada alasan untuk marah atas hasil karya keterampilan, kreatifitas dan ketulu
san! {oleh Syahid Widi Nugroho pada 27 Februari 2010 jam 15:26}